Ufuk timur merona kemerahan saat aku tiba
di Pasar Gebang, Kecamatan tertimur Kabupaten Cirebon. Aroma amis pesisir
perlahan tercium dari arah utara. Di sana tampak hiruk pikuk nelayan sedang menarik
pukat. Berpeluh, panas dan lembab.
Nelayan Tradisional siap #EndWTO |
Kuperiksa arlojiku, masih menunjukkan pukul
03.30 WIB. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an mulai terdengar dari Toa di atap-atap masjid. Suaranya
nyaring. Membangunkan siapa saja yang masih terlelap di dalam selimut.
Aku memilih menunggu azan subuh di Masjid
Baiturrahman. Lokasinya
berada di sebelah barat Pasar Gebang. Tidak jauh dari tempat di mana kondektur
menurunkanku dari bus yang tadi kutumpangi dari Blitar.
Di Desa Gebang, kami akan bertemu
dengan kelompok nelayan tradisional dan kelompok buruh migran. Kami hendak berbagi
pengalaman dan berembuk strategi jitu menghadapi rezim perdagangan bebas yang
semakin merajalela.
Beruntung, usai shalat subuh aku
ditawari tumpangan oleh Pak Abu, pengurus Masjid Baiturrahman. Setelah selesai
menyapu halaman masjid, ia mengantarku menuju kediaman Ribut Bachtiar, ketua
Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon.
Sampai di kediamannya,
Ribut dan Budi Laksana menyambutku. Mereka berdua belum sempat tidur semalam.
"Baru selesai suksesi Kuwu Desa Gebang. Kebetulan anggota kita yang menang,"
ujar Ribut. "Alhamdulillah, pemilihan Kuwu kali ini berlangsung aman,
tanpa adu jotos," tambah Budi.
Menurut Ribut, Kecamatan Gebang
merupakan basis nelayan tradisional terbesar di Kabupaten Cirebon. Namun,
hingga saat ini nelayan tradisional di wilayahnya belum pernah mencicipi kue kesejahteraan.
Subsidi dan bantuan
pemerintah tidak pernah mampir ke Kecamatan Gebang. Pun ada, bantuan tersebut
diterima oleh juragan-juragan besar yang bukan representasi dari nelayan
tradisional. Dari juragan-juragan tersebut, nelayan-nelayan kecil berutang
modal untuk melaut.
Sekjend SNI, Budi Laksana
menyebutkan, rata-rata tiap nelayan pemilik perahu di Kecamatan Gebang memiliki
utang kepada juragan penyedia logistik hingga 30 juta rupiah. Bahkan, ada yang angkanya
lebih fantastis lagi.
Di saat harga BBM
melangit seperti saat ini, angka utang mereka semakin berkali lipat jumlahnya.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan banyaknya ikan impor yang membanjiri
pasar Indonesia. Ongkos melaut mahal. Sementara itu, harga jual ikan rendah.
Jangan heran jika istilah
kelurga nelayan yang terlilit utang menjadi akrab di telinga kita. Tidak hanya nelayan
di Kecamatan Gebang. Tetapi, seluruh nelayan di Negeri bahari ini,
identik dengan kemiskinan.
Saat diselidiki
penyebabnya, semua jawaban mengarah pada beberapa hal pokok, seperti, susahnya
akses pendidikan yang mengakibatkan kualitas SDM rendah. Kemudian, ada jejaring
tengkulak yang melanggengkan sistem perdagangan takberkeadilan. Dan rentenir
yang siap menghisap habis pasien utangnya. Ngeri banget yaa…
Budi menyebutkan,
kemiskinan di Kecamatan Gebang bersumber pada rendahnya tingkat pendidikan
warga. “Orang-orang di sini jarang yang sekolah, Nir. Ada beberapa orang yang
sekolah, tapi cuma sampai SMP. Itu sudah paling tinggi."
“Karena tidak bisa baca
tulis, kami sering ditipu tengkulak dan oknum-oknum pemerintah yang tak
bertanggung jawab. Gara-gara sering menjadi objek penipuan, kemiskinan di
kalangan nelayan menjadi semacam lingkaran setan yang tak berujung,” Ribut
menambahkan.
Sebagai upaya keluar dari
jerat kemiskinan, perempuan-perempuan dari Kecamatan Gebang memilih menjadi
buruh migran. Tujuan utama mereka adalah negara-negara kawasan Timur Tengah.
Arab Saudi, Yordania, dan Abu Dabi.
Mimpi
kesejahteraan yang ditawarkan Timur Tengah membayangi memori perempuan-perempuan pesisir
itu. Dengan menjadi buruh migran, mereka berharap dapat membantu menopang perekonomian
keluarga. Terutama membayar utang-utang mereka.
Pagi itu, Ribut menuturkan
bagaimana kisah istrinya saat merantau ke Arab Saudi. Ribut mengaku harus
menyediakan uang hingga puluhan juta rupiah untuk mendaftarkan istrinya ke
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJ TKI). Uang itu berhasil diperoleh
Ribut dari utang kepada mertua. Harapannya, utang itu dapat dilunasi setelah
istrinya bekerja di Arab Saudi.
Namun, takdir berkata lain. Setelah
bekerja di Arab Saudi selama tiga bulan, istri Ribut tidak kunjung mendapatkan gaji
dari majikan. Setelah terlunta-lunta selama tiga bulan, Ribut menganjurkan agar
istrinya pulang saja ke kampung.
Cerita di atas hanya
sepenggal pengalaman dari istri Ribut saja. Bukankah kita sering mendengar cerita-cerita tragis yang menimpa buruh-buruh migran (perempuan) saat berada di
perantauan? Mereka diperkosa majikan. Mereka disiksa hingga mengalami cacat
fisik. Mereka ditipu calo-calo di bandara.
Ternyata tidak semua
mimpi bisa menjadi kenyataan, kawan. Termasuk mimpi perempuan-perempuan pesisir
ini.
Menurutku, segala problem
nelayan tradisional, dapat diselesaikan oleh organisasi nelayan yang kuat. Paling
tidak, organisasi nelayan ini mampu mendidik dan melakukan proses penyadaran
yang bersinambungan terhadap nelayan (yang tertindas) dan para tengkulak,
rentenir, oknum pemerintah (yang menindas).
Pola penyadaran tersebut
menyitir pengalaman Paulo Freire dalam menyoroti persoalan pendidikan di Brazil
pada era 1960-an. Menurutnya, hakikat mendidik itu adalah untuk memanusiakan
manusia. Humanisme universal yang Freire dengungkan kala itu. Yang perlu
disadarkan bukan hanya kelompok yang menjadi objek penindasan saja. Tetapi,
para pelaku atau subjek penindas juga wajib disadarkan.
Saat dimintai komentar, Ribut sepakat
dengan konsep itu. Menurutnya, keberadaan SNI di Kecamatan Gebang terbukti mampu mengatasi
persoalan SDM rendah di kalangan nelayan. Malah, dua tahun belakangan ini, masalah-masalah
sosial, keamanan, tawuran anak muda, juga dapat diatasi. Oknum keamanan dan pemerintahan
setempat yang dulu suka 'minta jatah', sekarang tidak berani lagi.
Bagi Ribut pribadi,
setelah dua tahun menjabat sebagai Ketua SNI Cirebon, banyak perubahan yang
telah ia alami. Terutama dalam hal menjalin komunikasi politik dengan
pemerintah.
"Hubungan kami
dengan pemerintah sudah mulai mesra. Bulan depan, kami akan menerima bantuan
alat tangkap dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon. Tinggal tunggu waktu
saja," ujarnya bersemangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar