Rabu, 21 Agustus 2013

Mampir ke Kampung Nelayan



Ufuk timur merona kemerahan saat aku tiba di Pasar Gebang, Kecamatan tertimur Kabupaten Cirebon. Aroma amis pesisir perlahan tercium dari arah utara. Di sana tampak hiruk pikuk nelayan sedang menarik pukat. Berpeluh, panas dan lembab.
Nelayan Tradisional siap #EndWTO
Kuperiksa arlojiku, masih menunjukkan pukul 03.30 WIB. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an mulai terdengar dari Toa di atap-atap masjid. Suaranya nyaring. Membangunkan siapa saja yang masih terlelap di dalam selimut.
Aku memilih menunggu azan subuh di Masjid Baiturrahman. Lokasinya berada di sebelah barat Pasar Gebang. Tidak jauh dari tempat di mana kondektur menurunkanku dari bus yang tadi kutumpangi dari Blitar.
Desa Gebang Kulon, Kecamatan Gebang, adalah destinasi pertama yang kami kunjungi dalam rangkaian persiapan Youth Food Movement Caravan dan pendidikan massa menyikapi Konferensi Tingkat Menteri IX Organisasi Perdaganan Dunia (KTM IX WTO). Perhelatan besar itu akan diselenggarakan di Bali pada bulan Desember mendatang.
Di Desa Gebang, kami akan bertemu dengan kelompok nelayan tradisional dan kelompok buruh migran. Kami hendak berbagi pengalaman dan berembuk strategi jitu menghadapi rezim perdagangan bebas yang semakin merajalela.
Beruntung, usai shalat subuh aku ditawari tumpangan oleh Pak Abu, pengurus Masjid Baiturrahman. Setelah selesai menyapu halaman masjid, ia mengantarku menuju kediaman Ribut Bachtiar, ketua Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon.
Sampai di kediamannya, Ribut dan Budi Laksana menyambutku. Mereka berdua belum sempat tidur semalam. "Baru selesai suksesi Kuwu Desa Gebang. Kebetulan anggota kita yang menang," ujar Ribut. "Alhamdulillah, pemilihan Kuwu kali ini berlangsung aman, tanpa adu jotos," tambah Budi.
Menurut Ribut, Kecamatan Gebang merupakan basis nelayan tradisional terbesar di Kabupaten Cirebon. Namun, hingga saat ini nelayan tradisional di wilayahnya belum pernah mencicipi kue kesejahteraan.
Subsidi dan bantuan pemerintah tidak pernah mampir ke Kecamatan Gebang. Pun ada, bantuan tersebut diterima oleh juragan-juragan besar yang bukan representasi dari nelayan tradisional. Dari juragan-juragan tersebut, nelayan-nelayan kecil berutang modal untuk melaut.
Sekjend SNI, Budi Laksana menyebutkan, rata-rata tiap nelayan pemilik perahu di Kecamatan Gebang memiliki utang kepada juragan penyedia logistik hingga 30 juta rupiah. Bahkan, ada yang angkanya lebih fantastis lagi.
Di saat harga BBM melangit seperti saat ini, angka utang mereka semakin berkali lipat jumlahnya. Kondisi ini kemudian diperparah dengan banyaknya ikan impor yang membanjiri pasar Indonesia. Ongkos melaut mahal. Sementara itu, harga jual ikan rendah.
Jangan heran jika istilah kelurga nelayan yang terlilit utang menjadi akrab di telinga kita. Tidak hanya nelayan di Kecamatan Gebang. Tetapi, seluruh nelayan di Negeri bahari ini, identik dengan kemiskinan.
Saat diselidiki penyebabnya, semua jawaban mengarah pada beberapa hal pokok, seperti, susahnya akses pendidikan yang mengakibatkan kualitas SDM rendah. Kemudian, ada jejaring tengkulak yang melanggengkan sistem perdagangan takberkeadilan. Dan rentenir yang siap menghisap habis pasien utangnya. Ngeri banget yaa…
Budi menyebutkan, kemiskinan di Kecamatan Gebang bersumber pada rendahnya tingkat pendidikan warga. “Orang-orang di sini jarang yang sekolah, Nir. Ada beberapa orang yang sekolah, tapi cuma sampai SMP. Itu sudah paling tinggi."
“Karena tidak bisa baca tulis, kami sering ditipu tengkulak dan oknum-oknum pemerintah yang tak bertanggung jawab. Gara-gara sering menjadi objek penipuan, kemiskinan di kalangan nelayan menjadi semacam lingkaran setan yang tak berujung,” Ribut menambahkan.
Sebagai upaya keluar dari jerat kemiskinan, perempuan-perempuan dari Kecamatan Gebang memilih menjadi buruh migran. Tujuan utama mereka adalah negara-negara kawasan Timur Tengah. Arab Saudi, Yordania, dan Abu Dabi.
Mimpi kesejahteraan yang ditawarkan Timur Tengah membayangi memori perempuan-perempuan pesisir itu. Dengan menjadi buruh migran, mereka berharap dapat membantu menopang perekonomian keluarga. Terutama membayar utang-utang mereka.
Pagi itu, Ribut menuturkan bagaimana kisah istrinya saat merantau ke Arab Saudi. Ribut mengaku harus menyediakan uang hingga puluhan juta rupiah untuk mendaftarkan istrinya ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJ TKI). Uang itu berhasil diperoleh Ribut dari utang kepada mertua. Harapannya, utang itu dapat dilunasi setelah istrinya bekerja di Arab Saudi.
Namun, takdir berkata lain. Setelah bekerja di Arab Saudi selama tiga bulan, istri Ribut tidak kunjung mendapatkan gaji dari majikan. Setelah terlunta-lunta selama tiga bulan, Ribut menganjurkan agar istrinya pulang saja ke kampung.
Cerita di atas hanya sepenggal pengalaman dari istri Ribut saja. Bukankah kita sering mendengar cerita-cerita tragis yang menimpa buruh-buruh migran (perempuan) saat berada di perantauan? Mereka diperkosa majikan. Mereka disiksa hingga mengalami cacat fisik. Mereka ditipu calo-calo di bandara.
Ternyata tidak semua mimpi bisa menjadi kenyataan, kawan. Termasuk mimpi perempuan-perempuan pesisir ini. 
Menurutku, segala problem nelayan tradisional, dapat diselesaikan oleh organisasi nelayan yang kuat. Paling tidak, organisasi nelayan ini mampu mendidik dan melakukan proses penyadaran yang bersinambungan terhadap nelayan (yang tertindas) dan para tengkulak, rentenir, oknum pemerintah (yang menindas).
Pola penyadaran tersebut menyitir pengalaman Paulo Freire dalam menyoroti persoalan pendidikan di Brazil pada era 1960-an. Menurutnya, hakikat mendidik itu adalah untuk memanusiakan manusia. Humanisme universal yang Freire dengungkan kala itu. Yang perlu disadarkan bukan hanya kelompok yang menjadi objek penindasan saja. Tetapi, para pelaku atau subjek penindas juga wajib disadarkan.
Saat dimintai komentar, Ribut sepakat dengan konsep itu. Menurutnya, keberadaan SNI di Kecamatan Gebang terbukti mampu mengatasi persoalan SDM rendah di kalangan nelayan. Malah, dua tahun belakangan ini, masalah-masalah sosial, keamanan, tawuran anak muda, juga dapat diatasi. Oknum keamanan dan pemerintahan setempat yang dulu suka 'minta jatah', sekarang tidak berani lagi.
Bagi Ribut pribadi, setelah dua tahun menjabat sebagai Ketua SNI Cirebon, banyak perubahan yang telah ia alami. Terutama dalam hal menjalin komunikasi politik dengan pemerintah.
"Hubungan kami dengan pemerintah sudah mulai mesra. Bulan depan, kami akan menerima bantuan alat tangkap dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon. Tinggal tunggu waktu saja," ujarnya bersemangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar