Selasa, 05 Februari 2013

Manglayang Surga Duri

“Akhirnya… naik gunung juga,” seloroh Rezza terkekeh. 
Aku langsung membalasnya dengan senyuman lebar. Tak terasa bus Primajasa klas ekonomi AC jurusan Garut-Lebak Bulus yang kami tumpangi dari pintu tol Cileunyi sudah memasuki Jakarta. Setelah menurunkan sebagian besar muatannya di perempatan Pasar Rebo, akhirnya kami mendapatkan tempat duduk. Lebih dari tiga jam kami berdiri. Memang, tiap akhir pekan, trayek dari Pasundan (Garut, Tasik, Ciamis) ke Jakarta selalu ramai penumpang.
Bangun tidur, narsis dulu
Ki Bagus memilih duduk di bangku paling belakang. Sambil menjaga tas carrier kami, dia bisa leluasa merokok di ruangan khusus itu. Sementara itu, aku dan Rezza memilih bangku double urutan ketiga dari belakang. Di sebelah kanan kami, ada seorang pemudi yang dalam fikiranku mungkin dapat diajak kenalan. Tapi, tak jadi. Aku lebih memilih ngobrol soal pendakian yang baru saja kami lakukan. Mendaki Manglayang.

“Lumayan juga treknya cok…” ujarku.
Mataku menerawang keluar jendela. Memperhatikan rintik hujan membasahi jalanan ibu kota. Fikiranku melayang, mengenang kegilaan yang baru saja kami lakukan. Seingatku, sudah  beberapa tahun lalu kami berencana untuk mendaki gunung bersama. Karena berbagai macam alasan, baru kesampaian kali ini.
Diantara kami bertiga, Rezza yang paling senior dan berpengalaman dalam pendakian. Koleksi foto-fotonya di Gede Pangrango, Salak, Cikuray, Papandayan, Ciremai, sampai Semeru, selalu membuatku iri. Dia rutin naik gunung dan selalu berusaha menularkan virusnya kepada kami.
Sementara Ki Bagus, dia termasuk tipe manusia teraktif di dunia. Paling susah ditemukan karena sering bepergian. Berpindah-pindah tempat dalam sekejap. Fisiknya selalu kuat di berbagai medan dan cuaca. Dual hal yang membuat kakinya berhenti melangkah. Saat hatinya sedang resah, menggalau, atau saat tubuhnya disergap demam akibat sakit gigi. Setahuku, selain Pulau Sempu, Gede Pangrango menjadi pengalaman pertamanya dalam pendakian.
Kalo aku? Baru kali ini lho naik gunung! Hehehe…
Sambil memeriksa luka gores yang menghiasi lengan, muka dan kaki, Rezza berkisah kepadaku bahwa menurut perbincangan diantara pendaki di forum Kaskus, trek Manglayang termasuk extrem. Siapa saja yang sudah ke puncak Semeru, Rinjani, atau gunung-gunung tertinggi lainnya, jangan sombong dulu kalo belum pernah nyoba trek Ciremai atau Manglayang. Tanjakannya luar biasa cuy. Jalurnya licin dan tidak ada pegangan, siap menguji siapapun yang melaluinya.
Manglayang adalah nama sebuah gunung. Membentang antara Kabupaten Badung dan Sumedang, Jawa Barat. Kalo kamu tau kampus IPDN, ITB, atau Unpad di Jatinangor, Manglayang berdiri kokoh tepat di belakang kampus-kampus terkenal itu. Di kejauhan, dia tampak seperti benteng hijau raksasa yang senantiasa melindungi setiap penduduk Jatinangor dari segala marabahaya.
Menurut beberapa literatur yang berhasil kutemukan, Manglayang termasuk dalam satu rangkaian dengan pegunungan Burangrang-Tangkubanparahu-Bukit Tunggul. Di antara rangkaian tersebut, Manglayanglah yang terendah. Puncaknya, kurang lebih  1.817 meter di atas permukaan laut (mdpl). Menurut Silitonga, Manglayang diperkirakan seumuran dengan Gunung Tangkubanparahu. Umurnya diperkirakan tidak lebih tua dari 50.000 tahun. “Gila. Tua banget ye…”
 Bentang alam Manglayang didominasi oleh tumbuhan hutan tropis dengan ciri pepohonan yang besar-besar, tinggi menjulang, dan berdaun lebat. Saking lebatnya, sinar matahari biasanya tak sanggup menembus hingga permukaan tanah.
Menurut cerita Rezza, ciri seperti ini dimiliki mayoritas gunung-gunung yang membentang dari Pulau Sumatera hingga Jawa bagian barat. Sedangkan mulai Jawa Tengah dan Timur, gunung-gunungnya didominasi savana, padang rumput yang luasnya sejauh mata memandang itu.
“Jangan kapok naik gunung ya. Selain persiapan fisik, yang lebih penting adalah tekat dan mental baja,” ujar Rezza menyemangatiku.
Aku manggut-manggut saja, tanda setuju. Kekhawatiranku soal kondisi tubuh yang sering drop di udara dingin, terbukti tahkluk dengan sebuah persiapan matang, segunung semangat, dan kawan seperjalanan yang tepat. Tanpa itu semua, jangan harap kau berhasil sampai puncak!
Pemandangan dari Puncak Barat
Pendakian Manglayang bermula saat Rezza datang ke kostku di Ciputat pada awal minggu ke-3 Desember 2012.
“Sabtu depan gue mau ke Manglayang nih. Lo pada mau ikutan gak ?” ujar Rezza kepadaku dan Bagus.
“Wah mendadak banget sih ngomongnya. Kira-kira yang perlu disiapin apa aja kalo mau ikut,” jawabku.
“Ya perlengkapan naek gunung. Terus lo harus olahraga dulu beberapa hari ini. Kalo gak pada ikut sih gue tetep mau berangkat sendiri nanti”.
Tanpa basa-basi, langsung kuterima ajakan itu. Kapan lagi dapat kesempatan naik gunung bareng Rezza dan Bagus, gumamku dalam hati.
Akhirnya, dini hari tanggal 23 Desember kami memulai perjalanan. Karena tidak punya persiapan sebelumnya, seorang kawan kami, Fhad, yang malam itu tiba-tiba ingin ikut, terpaksa kami tinggalkan. Kami tak mau ambil resiko. Karena, di gunung akan selalu ada beribu macam kejutan. Banyak hal-hal tak terduga mengintai para pendaki. Jadi, bersiaplah!
Lalu lintas padat merayap di tol Cipularang. Kami lupa, hari itu sudah mulai libur panjang menjelang Natal dan tahun baru. Jatinangor kami tempuh dalam lima jam dengan Primajasa. Sesampainya di Jatinangor, rasa lapar telah melilit lambung kami. Rezza merekomendasikan kupat kari, yang gerobaknya mangkal tak jauh dari kampus Unpad.
“Kuliner khas daerah setempat. Mantep banget. Kalian harus coba,” katanya.
Air liur langsung membanjiri rongga mulutku saat seporsi kupat kari sudah terhidang di meja. Bumbu karinya yang kental berwarna merah kecoklatan itu disiramkan ke irisan kupat dalam piring. Ada daging kambing dipotong dadu yang empuk di kuah kari tadi. Juga ada telur rebus, bawang goreng, kerupuk dan sambel sebagai pelengkapnya. Dan, siap disantaaappp selagi hangat…J
Tepat pukul 10.00 WIB, kami sampai di “Warug Abah”. Penduduk sekitar menyebutnya begitu. Warung Abah adalah salah satu pintu gerbang menuju Manglayang. Dari situ, akan ada dua jalur yang dapat ditempuh menuju ke puncak, timur dan barat. Kami memutuskan untuk menggunakan jalur barat.
Pukul 10.30, kami memulai pendakian. Istri Abah yang menjaga warung dan rombongan muda-mudi dari Jatinangor yang baru saja turun dari puncak melepas keberangkatan kami.
“Hati-hati a’, semalem habis hujan. Treknya licin,” ujar salah satu anak muda itu kepadaku. Dari pakaian dan tubuh mereka yang berlumpur, sudah terbayang trek yang harus kulewati 4 jam ke depan.
Suara gemericik air sungai dan jajaran pohon pinus di sebelah kiri jalan menemani awal pendakian. Diantara pohon-pohon pinus yang berdiri tegap itu banyak ditumbuhi rumput gajah untuk pakan kambing dan sapi. Sesekali, kami berpapasan dengan petani yang pulang merumput dari gunung. Petani itu membawa sepikul rumput di pundaknya. Saat berpapasan, salah satu dari kami harus mengalah. Jalan setapak, sempit, dan licin mengharuskan kami untuk melewatinya bergantian.
Setengah jam pertama, tiba-tiba nafasku tersengal, kepala pusing, dan mata berkunang-kunang. Tubuhku mulai beradaptasi dengan trek yang dari tadi terus-terusan menanjak. Dengan rata-rata kemiringan 40-70 derajat tanpa “bonus”, pantas jika Manglayang menjadi tempat faforit untuk berlatih fisik bagi pendaki di sekitar Bandung. Tapi bagi pemula, ini adalah sebuah tantangan!
Satu jam berikutnya, tubuhku sudah terbiasa dengan kondisi georafis Manglayang. Di Warung Abah tadi, Bagus dan Rezza sudah mengingatkan agar tidak terlalu ngoyo. Jika capek, lebih baik langsung break, istirahat. Mereka juga selalu memberiku kesempatan untuk berjalan paling depan. Hanya saat trek terputus, atau hilang, Rezza dan Bagus bergantian mencari jalur. Selebihnya, aku yang harus tetap di depan.
Secara psikologis, biasanya kita akan merasa malas jika berjalan di urutan paling belakang. Apalagi, pemula sepertiku. Biar semangat terus membara, ambil jatah barisan terdepan. Dan yang paling senior, dia pasti siap mengalah, menyisir jalanan di belakang.
Pukul 13.30, langit di atas kami mulai mendung. Hari itu kabut turun lebih cepat. Suasana jadi gelap. Kami nyasar. Trek di depan kami tiba-tiba hilang, terputus. Tapi, insting kami mengatakan bahwa jalur yang tadi kami lalui sudah benar. Kami memutuskan untuk terus berjalan sebelum turun hujan. Yang penting terus ikuti tanda atau jejak yang kira-kira mengarah ke arah puncak.
 Hingga hampir pukul 15.00, kami masih menerobosi alang-alang berduri. Melompati batang pohon besar yang roboh sembarangan. Sudah banyak goresan duri mengenai tangan, kaki, dan muka, “kaya korban KDRT aja” kata Bagus mengomentari.
Hujan perlahan turun. Rintik-rintik kecilnya segera berubah menjadi deras. Seperti ada malaikat yang menumpahkan ribuan volume air dari langit. Petir juga sudah mulai menyalak menyertai. Dalam kondisi seperti itu, mata kami sempat tertipu.
Saat mendongakkan kepala, tampak sesuatu berwarna oranye beberapa ratus meter di depan kami. Semula, kami mengiranya sebuah tenda. Sambil memilih tempat berpijak yang cukup kokoh untuk menopang badan, kami langsung menerobos pepohonan sambil berteriak-teriak. Memekik, memastikan apakah ada seseorang di sekitar situ.
Tak ada yang merespon teriakan kami. Setelah cukup dekat, ternyata warna oranye yang kami lihat tadi berasal dari segerombol bunga sedang mekar. Kami jalan terus ke atas, sampai akhirnya menemukan cabang-cabang jalur pendakian yang bertemu pada satu titik. Dari situ kami yakin, puncak Manglayang sudah dekat.
Kami berlomba dengan guyuran air hujan. Rasa capek lenyap begitu saja. Kami berlari kesetanan mengikuti trek yang kini semakin jelas mengarah ke puncak.
Sekitar pukul 15.30, hujan semakin deras dan disertai angin. Tubuh kami mulai mengigil hebat. Perjalanan tak mungkin kami lanjutkan. Kedinginan. Saat menemukan tanah datar dan terbuka, akhirnya kami memutuskan segera mendirikan tenda.
Di tengah guyuran hujan yang semakin menggila itu, dengan sigap Rezza membentang ‘Lafuma-nya’. Sambil memasang pasak dan membuat simpul tali, dia memastikan, “kalian tenang aja. Yang ini tahan badai cuy, udah dites di Semeru”.
Agar bagian bawah Lafuma oranye itu tidak basah, aku dan Bagus bertugas membuat atap darurat dengan membentangkan jas hujan. Tapi, apa daya. Atap dari jas hujan yang kami bentangkan tidak tangguh di tengah hujan angin seperti ini.
Hujan berhenti tepat tengah malam. Setelah mengeringkan bagian dalam tenda yang basah, kemudian memasak perbekalan, kami memutuskan untuk beristirahat. Ditemani suara jangkrik dan desiran angin gunung yang menggerakkan dedaunan, kami harus tidur dalam posisi miring berbagi punggung, berusaha menjaga agar tubuh kami selalu hangat.
Di tengah gelap dan diam itu aku bertekat, setelah Manglayang, kakiku akan menahklukkan puncak-puncak selanjutnya.

2 komentar:

  1. "Di sebelah kanan kami, ada seorang pemudi yang dalam fikiranku mungkin dapat diajak kenalan. Tapi, tak jadi."

    hahahahaha *ngakak*

    dasar kau cak!
    aku selalu suka tulisanmu, cuma masih banyak salah ketik dan salah eja ni...hehe gapapa asal rajin nanti juga terbiasa nulis pake bahasa Indonesia yang baik dan benar b(^_^)d

    BalasHapus
  2. haha... sebenarnya semuanya punya ide untuk ngajak ngobrol tuh...
    soal bahasa indonesia yang baik dan benar, biasanya lupa ingin nulis dengan bahasa yang lebih santai. jadinya seperti di atas deh..

    BalasHapus