“Akhirnya… naik
gunung juga,” seloroh Rezza terkekeh.
Aku langsung membalasnya dengan senyuman lebar. Tak terasa bus Primajasa klas ekonomi AC jurusan Garut-Lebak Bulus yang kami tumpangi dari pintu tol Cileunyi sudah memasuki Jakarta. Setelah menurunkan sebagian besar muatannya di perempatan Pasar Rebo, akhirnya kami mendapatkan tempat duduk. Lebih dari tiga jam kami berdiri. Memang, tiap akhir pekan, trayek dari Pasundan (Garut, Tasik, Ciamis) ke Jakarta selalu ramai penumpang.
Aku langsung membalasnya dengan senyuman lebar. Tak terasa bus Primajasa klas ekonomi AC jurusan Garut-Lebak Bulus yang kami tumpangi dari pintu tol Cileunyi sudah memasuki Jakarta. Setelah menurunkan sebagian besar muatannya di perempatan Pasar Rebo, akhirnya kami mendapatkan tempat duduk. Lebih dari tiga jam kami berdiri. Memang, tiap akhir pekan, trayek dari Pasundan (Garut, Tasik, Ciamis) ke Jakarta selalu ramai penumpang.
Bangun tidur, narsis dulu |
Ki Bagus memilih
duduk di bangku paling belakang. Sambil menjaga tas carrier kami, dia bisa leluasa merokok di ruangan khusus itu.
Sementara itu, aku dan Rezza memilih bangku double
urutan ketiga dari belakang. Di sebelah kanan kami, ada seorang pemudi yang
dalam fikiranku mungkin dapat diajak kenalan. Tapi, tak jadi. Aku lebih memilih
ngobrol soal pendakian yang baru saja kami lakukan. Mendaki Manglayang.
“Lumayan juga
treknya cok…” ujarku.
Mataku
menerawang keluar jendela. Memperhatikan rintik hujan membasahi jalanan ibu
kota. Fikiranku melayang, mengenang kegilaan yang baru saja kami lakukan.
Seingatku, sudah beberapa tahun lalu
kami berencana untuk mendaki gunung bersama. Karena berbagai macam alasan, baru
kesampaian kali ini.
Diantara kami
bertiga, Rezza yang paling senior dan berpengalaman dalam pendakian. Koleksi
foto-fotonya di Gede Pangrango, Salak, Cikuray, Papandayan, Ciremai, sampai
Semeru, selalu membuatku iri. Dia rutin naik gunung dan selalu berusaha
menularkan virusnya kepada kami.
Sementara Ki
Bagus, dia termasuk tipe manusia teraktif di dunia. Paling susah ditemukan
karena sering bepergian. Berpindah-pindah tempat dalam sekejap. Fisiknya selalu
kuat di berbagai medan dan cuaca. Dual hal yang membuat kakinya berhenti
melangkah. Saat hatinya sedang resah, menggalau, atau saat tubuhnya disergap
demam akibat sakit gigi. Setahuku, selain Pulau Sempu, Gede Pangrango menjadi
pengalaman pertamanya dalam pendakian.
Kalo aku? Baru
kali ini lho naik gunung! Hehehe…
Sambil memeriksa
luka gores yang menghiasi lengan, muka dan kaki, Rezza berkisah kepadaku bahwa
menurut perbincangan diantara pendaki di forum Kaskus, trek Manglayang termasuk
extrem. Siapa saja yang sudah ke puncak
Semeru, Rinjani, atau gunung-gunung tertinggi lainnya, jangan sombong dulu kalo
belum pernah nyoba trek Ciremai atau Manglayang. Tanjakannya luar biasa cuy. Jalurnya licin dan tidak ada
pegangan, siap menguji siapapun yang melaluinya.
Manglayang adalah
nama sebuah gunung. Membentang antara Kabupaten Badung dan Sumedang, Jawa
Barat. Kalo kamu tau kampus IPDN, ITB, atau Unpad di Jatinangor, Manglayang berdiri
kokoh tepat di belakang kampus-kampus terkenal itu. Di kejauhan, dia tampak seperti
benteng hijau raksasa yang senantiasa melindungi setiap penduduk Jatinangor
dari segala marabahaya.
Menurut beberapa
literatur yang berhasil kutemukan, Manglayang termasuk dalam satu rangkaian dengan
pegunungan Burangrang-Tangkubanparahu-Bukit Tunggul. Di antara rangkaian tersebut,
Manglayanglah yang terendah. Puncaknya, kurang lebih 1.817 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Menurut Silitonga, Manglayang diperkirakan
seumuran dengan Gunung Tangkubanparahu. Umurnya diperkirakan tidak lebih tua
dari 50.000 tahun. “Gila. Tua banget ye…”
Bentang alam Manglayang didominasi oleh
tumbuhan hutan tropis dengan ciri pepohonan yang besar-besar, tinggi menjulang,
dan berdaun lebat. Saking lebatnya, sinar matahari biasanya tak sanggup
menembus hingga permukaan tanah.
Menurut cerita Rezza,
ciri seperti ini dimiliki mayoritas gunung-gunung yang membentang dari Pulau
Sumatera hingga Jawa bagian barat. Sedangkan mulai Jawa Tengah dan Timur,
gunung-gunungnya didominasi savana, padang rumput yang luasnya sejauh mata
memandang itu.
“Jangan kapok
naik gunung ya. Selain persiapan fisik, yang lebih penting adalah tekat dan
mental baja,” ujar Rezza menyemangatiku.
Aku
manggut-manggut saja, tanda setuju. Kekhawatiranku soal kondisi tubuh yang
sering drop di udara dingin, terbukti tahkluk dengan sebuah persiapan matang, segunung
semangat, dan kawan seperjalanan yang tepat. Tanpa itu semua, jangan harap kau berhasil
sampai puncak!
Pemandangan dari Puncak Barat |
Pendakian Manglayang
bermula saat Rezza datang ke kostku di Ciputat pada awal minggu ke-3 Desember
2012.
“Sabtu depan gue
mau ke Manglayang nih. Lo pada mau ikutan gak ?” ujar Rezza kepadaku dan Bagus.
“Wah mendadak
banget sih ngomongnya. Kira-kira yang perlu disiapin apa aja kalo mau ikut,”
jawabku.
“Ya perlengkapan
naek gunung. Terus lo harus olahraga dulu beberapa hari ini. Kalo gak pada ikut
sih gue tetep mau berangkat sendiri nanti”.
Tanpa basa-basi,
langsung kuterima ajakan itu. Kapan lagi dapat kesempatan naik gunung bareng Rezza
dan Bagus, gumamku dalam hati.
Akhirnya, dini
hari tanggal 23 Desember kami memulai perjalanan. Karena tidak punya persiapan
sebelumnya, seorang kawan kami, Fhad, yang malam itu tiba-tiba ingin ikut,
terpaksa kami tinggalkan. Kami tak mau ambil resiko. Karena, di gunung akan selalu
ada beribu macam kejutan. Banyak hal-hal tak terduga mengintai para pendaki.
Jadi, bersiaplah!
Lalu lintas padat
merayap di tol Cipularang. Kami lupa, hari itu sudah mulai libur panjang
menjelang Natal dan tahun baru. Jatinangor kami tempuh dalam lima jam dengan
Primajasa. Sesampainya di Jatinangor, rasa lapar telah melilit lambung kami.
Rezza merekomendasikan kupat kari, yang gerobaknya mangkal tak jauh dari kampus
Unpad.
“Kuliner khas
daerah setempat. Mantep banget. Kalian harus coba,” katanya.
Air liur
langsung membanjiri rongga mulutku saat seporsi kupat kari sudah terhidang di
meja. Bumbu karinya yang kental berwarna merah kecoklatan itu disiramkan ke
irisan kupat dalam piring. Ada daging kambing dipotong dadu yang empuk di kuah
kari tadi. Juga ada telur rebus, bawang goreng, kerupuk dan sambel sebagai
pelengkapnya. Dan, siap disantaaappp selagi hangat…J
Tepat pukul
10.00 WIB, kami sampai di “Warug Abah”. Penduduk sekitar menyebutnya begitu. Warung
Abah adalah salah satu pintu gerbang menuju Manglayang. Dari situ, akan ada dua
jalur yang dapat ditempuh menuju ke puncak, timur dan barat. Kami memutuskan
untuk menggunakan jalur barat.
Pukul 10.30,
kami memulai pendakian. Istri Abah yang menjaga warung dan rombongan muda-mudi
dari Jatinangor yang baru saja turun dari puncak melepas keberangkatan kami.
“Hati-hati a’, semalem habis hujan. Treknya licin,”
ujar salah satu anak muda itu kepadaku. Dari pakaian dan tubuh mereka yang
berlumpur, sudah terbayang trek yang harus kulewati 4 jam ke depan.
Suara gemericik
air sungai dan jajaran pohon pinus di sebelah kiri jalan menemani awal
pendakian. Diantara pohon-pohon pinus yang berdiri tegap itu banyak ditumbuhi
rumput gajah untuk pakan kambing dan sapi. Sesekali, kami berpapasan dengan
petani yang pulang merumput dari gunung. Petani itu membawa sepikul rumput di
pundaknya. Saat berpapasan, salah satu dari kami harus mengalah. Jalan setapak,
sempit, dan licin mengharuskan kami untuk melewatinya bergantian.
Setengah jam
pertama, tiba-tiba nafasku tersengal, kepala pusing, dan mata berkunang-kunang.
Tubuhku mulai beradaptasi dengan trek yang dari tadi terus-terusan menanjak.
Dengan rata-rata kemiringan 40-70 derajat tanpa “bonus”, pantas jika Manglayang
menjadi tempat faforit untuk berlatih fisik bagi pendaki di sekitar Bandung.
Tapi bagi pemula, ini adalah sebuah tantangan!
Satu jam
berikutnya, tubuhku sudah terbiasa dengan kondisi georafis Manglayang. Di
Warung Abah tadi, Bagus dan Rezza sudah mengingatkan agar tidak terlalu ngoyo. Jika capek, lebih baik langsung break, istirahat. Mereka juga selalu
memberiku kesempatan untuk berjalan paling depan. Hanya saat trek terputus,
atau hilang, Rezza dan Bagus bergantian mencari jalur. Selebihnya, aku yang
harus tetap di depan.
Secara
psikologis, biasanya kita akan merasa malas jika berjalan di urutan paling
belakang. Apalagi, pemula sepertiku. Biar semangat terus membara, ambil jatah barisan
terdepan. Dan yang paling senior, dia pasti siap mengalah, menyisir jalanan di
belakang.
Pukul 13.30,
langit di atas kami mulai mendung. Hari itu kabut turun lebih cepat. Suasana
jadi gelap. Kami nyasar. Trek di depan kami tiba-tiba hilang, terputus. Tapi,
insting kami mengatakan bahwa jalur yang tadi kami lalui sudah benar. Kami
memutuskan untuk terus berjalan sebelum turun hujan. Yang penting terus ikuti
tanda atau jejak yang kira-kira mengarah ke arah puncak.
Hingga hampir pukul 15.00, kami masih menerobosi
alang-alang berduri. Melompati batang pohon besar yang roboh sembarangan. Sudah
banyak goresan duri mengenai tangan, kaki, dan muka, “kaya korban KDRT aja”
kata Bagus mengomentari.
Hujan perlahan
turun. Rintik-rintik kecilnya segera berubah menjadi deras. Seperti ada
malaikat yang menumpahkan ribuan volume air dari langit. Petir juga sudah mulai
menyalak menyertai. Dalam kondisi seperti itu, mata kami sempat tertipu.
Saat mendongakkan
kepala, tampak sesuatu berwarna oranye beberapa ratus meter di depan kami. Semula,
kami mengiranya sebuah tenda. Sambil memilih tempat berpijak yang cukup kokoh
untuk menopang badan, kami langsung menerobos pepohonan sambil berteriak-teriak.
Memekik, memastikan apakah ada seseorang di sekitar situ.
Tak ada yang
merespon teriakan kami. Setelah cukup dekat, ternyata warna oranye yang kami
lihat tadi berasal dari segerombol bunga sedang mekar. Kami jalan terus ke atas,
sampai akhirnya menemukan cabang-cabang jalur pendakian yang bertemu pada satu
titik. Dari situ kami yakin, puncak Manglayang sudah dekat.
Kami berlomba
dengan guyuran air hujan. Rasa capek lenyap begitu saja. Kami berlari kesetanan
mengikuti trek yang kini semakin jelas mengarah ke puncak.
Sekitar pukul
15.30, hujan semakin deras dan disertai angin. Tubuh kami mulai mengigil hebat.
Perjalanan tak mungkin kami lanjutkan. Kedinginan. Saat menemukan tanah datar
dan terbuka, akhirnya kami memutuskan segera mendirikan tenda.
Di tengah guyuran
hujan yang semakin menggila itu, dengan sigap Rezza membentang ‘Lafuma-nya’. Sambil memasang pasak dan
membuat simpul tali, dia memastikan, “kalian tenang aja. Yang ini tahan badai cuy, udah dites di Semeru”.
Agar bagian
bawah Lafuma oranye itu tidak basah,
aku dan Bagus bertugas membuat atap darurat dengan membentangkan jas hujan.
Tapi, apa daya. Atap dari jas hujan yang kami bentangkan tidak tangguh di
tengah hujan angin seperti ini.
Hujan berhenti
tepat tengah malam. Setelah mengeringkan bagian dalam tenda yang basah, kemudian
memasak perbekalan, kami memutuskan untuk beristirahat. Ditemani suara jangkrik
dan desiran angin gunung yang menggerakkan dedaunan, kami harus tidur dalam
posisi miring berbagi punggung, berusaha menjaga agar tubuh kami selalu hangat.
Di tengah gelap
dan diam itu aku bertekat, setelah Manglayang, kakiku akan menahklukkan puncak-puncak
selanjutnya.
"Di sebelah kanan kami, ada seorang pemudi yang dalam fikiranku mungkin dapat diajak kenalan. Tapi, tak jadi."
BalasHapushahahahaha *ngakak*
dasar kau cak!
aku selalu suka tulisanmu, cuma masih banyak salah ketik dan salah eja ni...hehe gapapa asal rajin nanti juga terbiasa nulis pake bahasa Indonesia yang baik dan benar b(^_^)d
haha... sebenarnya semuanya punya ide untuk ngajak ngobrol tuh...
BalasHapussoal bahasa indonesia yang baik dan benar, biasanya lupa ingin nulis dengan bahasa yang lebih santai. jadinya seperti di atas deh..