Kawan, apakah kamu pernah merasa jiwamu
dalam kondisi terancam? Dalam menjalani hidup di tengah belantara dunia ini,
wajar rasanya seorang manusia menerima suatu ancaman dari orang lain. Kalo anak
rantau, biasanya sih sering diancam ibu yang punya kosan karena telat bayar
uang sewa kamar kos plus listrik yang harus disetor rutin tiap awal bulan. Atau,
para mahasiswa yang merasa terancam karena diultimatum rektor akan di DO gara-gara
rajin bolos kuliah dan milih berunjukrasa di jalan menolak komersialisasi
pendidikan.
Kurasa, masih banyak lagi peristiwa
lain, yang secara tak langsung dapat berpotensi mengancam diri kita. Sederhananya,
dua hal di atas adalah salah satu bentuk ancaman terkecil yang akrab dan dekat
dengan anak-anak muda perantau. Mungkin salah satu dari kalian pernah
mengalaminya. Tentu, ancaman itu tak begitu membahayakan kehidupan seseorang
bukan. Atau sampai merampas hak-hak seorang manusia di negeri Merdeka ini.
Tapi, apakah kamu yang sedang baca
catatan ini, pernah bertanya-tanya, gimana jadinya jika suatu ancaman itu
datang dalam bentuk yang terstruktur, kemudian legal menurut hukum, dan
dilakukan oleh Negara terhadap warga negaranya?
***
Suatu malam pertengahan November 2012,
saat itu sedang gerimis. Sambil menikmati semangkok bakso yang masih
mengepulkan asap, aku ngobrol dengan penjualnya.
Gerobak sederhana ‘Bakso Malang-nya’ biasa mangkal di gang sempit samping kosan.
Sejak lama baksonya jadi langgananku dan seluruh penghuni kos belakang tukang
cuci motor Jl. Semanggi II No.5, Kelurahan Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur
Tangerang Selatan. Aku biasa memanggilnya Cak
Rudi. Asli dari Malang, Jawa Timur. Masih muda, umurnya belum juga sampai empatpuluh
tahun.
Tapi, stop dulu cerita mengenai cak Rudi dan Bakso Malang yang murah dan
sedap itu kawan. Hal itu akan kuceritakan lain kali saja. Atau, nanti sambil
cerita, kutraktir kalian seporsi bakso Malang kalo perlu. hehe…
Kali ini aku ingin berkisah soal lain
kawan. Aku ingin berkisah tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan
Nasional.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul soal kampung halaman kami, akhirnya aku mulai
bercerita tentang keresahanku mengenai situasi Indonesia yang saat ini sedang carut
marut gak karuan. Penuntasan kasus
korupsi yang tak kunjung selesai. Pendidikan yag tambah mahal karena sudah
menjadi komoditas privat. Buruh yang terus ditekan pengusaha-pengusaha kaya
karena menuntut upah layak dan penghapusan kerja kontrak (outsourching). Petani yang terus-terusan terdesak karena lahannya
dicaplok negara dengan alasan pembangunan. Dan masih ada segunung masalah lain
yang ngantri untuk segera diselesaikan.
Di antara daftar panjang masalah yang tengah
menguji bangsa ini, adalah isu keamanan nasional yang paling menyita
perhatianku dalam beberapa bulan terakhir. Di tengah merebaknya konflik-konflik
sosial akibat perebutan SDA, dan terkadang dibumbui dengan isu SARA (Suku Agama
Ras dan Antargolongan), pemerintah sedang menyiapkan sebuah undang-undang yang
secara subtansi dapat mengancam dan menghina martabat seluruh warga negara
Indonesia. Dan sepontan saja, kawan bicaraku malam itu terkaget-kaget, tak
percaya.
“Lho, ko bisa begitu mas. Mosok Negara yang diberi amanat oleh
konstitusi untuk memberi jaminan kesejahteraan dan keamanan kepada tiap warga
negaranya, malah mengancaman warga negaranya to? Ngaco ah”, kata cak Rudi
tak percaya.
“Ya bisa aja dong cak Rudi, sudah
biasa itu terjadi. Lha wong Negara
kita yang diwakili Kementerian Pertahanan, sekarang ini sedang mengajukan draft
peraturan perundang-undangan yang isi pasalnya berpotensi mengancam demokrasi
dan hak dasar kita-kita ini sebgai warga negara”, jawabku.
“Ahh…yang bener aja masnya. Emang peraturan macam apa itu,
yang kata sampean tadi berpotensi
mengancam demokrasi dan melanggar hak kita sebagai warga negara?”, tambahnya
meminta penjelasan.
“Wakil-wakil rakyat kita yang duduk
manis di Senayan itu, saat ini akan membahas yang namanya Rancangan Undang-Undang
Keamanan Nasional. Orang-orang di luar sana biasa menyebutnya RUU Kamnas cak. Jadi RUU itu yang kumaksud akan
mengarahkan negara kita menjadi Negara yang totaliter.”
“Perkembangan terakhir yang kutau dari koran-koran
dan hasil ngobrol sana-sini menyebutkan, kelompok masyarakat sipil yang terdiri
dari ilmuan, agamawan, dosen, aktvis pegiat civil
society, dan mahasiswa, sepakat untuk menolak pembahasan RUU Kamnas ini.
Nah, sementara itu cak, fraksi-fraksi
partai di DPR RI yang katanya mewakil rakyat itu, mayoritas mendukung RUU Kamnas.
Kalo tidak salah, dari keseluruhan sembilan fraksi, sementara ini cuma tiga fraksi
doang yang nolak. Yang lainnya, gak
tau deh ke mana? Ke laut kali ye…?”
“Sik…sik,
sebentar mas. Negara yang totaliter itu gimana to?”, potong Rudi.
“Negara yang totaliter itu maksudnya
negara yang menjalankan pemerintahan dengan tangan besi cak. Misalnya, ada warganya yang kritis, gak boleh. Atau, ada warga yang meminta haknya sebagai warga negara
dipenuhi seperti pendidikan murah, kesehatan dan pekerjaan yang layak, malah
dihadapi dengan kekerasan. Pokoknya, semuanya harus manut sama si penguasa.”
“Hmmm…. malah jadi pusing saya. Tambah bingung
mas. Saya kan bukan anak kuliahan. Jadi suka ribet kalo ngomongin soal negara.
Kalo saya mah, yang penting dagangan bakso saya habis, terus gak ada orang yang
narikin pungli, terus hasilnya cukup untuk makan anak istri di rumah. Sing penting keluargaku wareg, anakku iso
sekolah (yang penting keluargaku kenyang, anakku bisa sekolah), saya sudah
merasa aman.”
“Coba dong dijelaskan dengan gamblang biar saya tidak bingung. Sampean
kan mahasiswa, pasti lebih banyak tau soal begituan daripada saya”, ujar Rudi
meminta pertanggungjawaban dariku.
“Oke, kalo begitu, akan coba kujelaskan
khusus buat sampean dan siapapun yang
berminat membaca. Dengan gak bermaksud mau menggurui atau sok tau, jadi tolong
disimak baik-baik ya…”
Setelah Dwifungsi ABRI Dicabut...
Sebelum kita bahas secara mendalam isi
RUU Kamnas, ayo terlebih dahulu kita lihat rekam jejak perjalanan RUU yang
tiba-tiba nongol dan tengah menjadi polemik ini.
Usut punya usust, transisi demokrasi di
Indonesia pada 1998 yang kejadiannya seiring dengan krisis multi-dimensi (bidang
ekonomi, politik, dan sosial), ternyata memberikan keyakinan kepada para
arsitek reformasi untuk melakukan perombakan secara total di bidang politik. Menurut
mereka, hal ini sangat mendesak, mengingat rezim orde baru yang berkuasa selama
32 tahun, telah mewariskan sistem politik yang transaksional. Maka, usaha “mengembalikan
militer ke barak” menjadi salah satu agenda pokok reformasi 1998.
Jika kawan-kawan masih ingat, dulu itu
ada yang namanya doktrin Dwifungsi ABRI. Doktrin Dwifungsi ini menghalalkan militer
(TNI) untuk ikut berpolitik. Terus, TNI juga terkenal punya lisensi khusus dari
penguasa untuk melakukan kegiatan bisnis di mana-mana, dan sekaligus suka ikut-ikut
campur urusan sipil mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pada waktu itu, TNI
yakin kalo mereka punya fungsi sosial dan politik sekaligus di tengah-tengah
masyarakat. Nah…sekarang doktrin itu sudah usang.
Untuk menjawab tantangan zaman, sektor
keamanan di Indonesia harus dirombak. Jadi, perlu batasan yang jelas antara
wilayah pertahanan negara (ditangani oleh aktor militer) dan keamanan sipil (ditangani
oleh aktor non-militer). Selanjutnya, doktrin Dwifungsi ABRI yang sudah usang
tadi harus dihapus dong. TNI dan POLRI kudu dipisahkan pokoknya. TNI harus
profesional, gak ikut-ikutan berpolitik praktis dan dipisahkan dari kegiatan bisnis.
Dalam kerangka reformasi sektor
keamanan tersebut, maka pemerintah membuat peraturan-peraturan hukum sebagai
penunjangnya. Seperti data yang dicatat oleh Pro Patria Institute, kurun 1998
hingga 2011 pemerintah telah menerbitkan Tap MPR-RI No.VI dan No.VII tahun 2000
yang kemudian mengilhami lahirnya legislasi yang mengatur soal keamanan negara
seperti, UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara, UU No.3/2002 tentang Sistem
Pertahana Semesta, UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme, UU No.34/2004
tentang TNI, dan UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara.
Kalo tiba-tiba ada yang bilang, “mau
reformasi aja ko’ ribet ya, harus
buat banyak UU. Kan repot, terus susah dihafal saking banyaknya peraturan dibuat. Toh, banyak juga yang
dilanggar.”
“Ya memang seperti itu cuy, konsekuensi hidup di negara hukum
seperti di Indonesia ini. Semua hal, mulai dari urusan sandag, pangan, kesehatan
dan pendidikan, harus dibuat pedoman hukumnya.
Biar setiap orang ingat, bahwa tugas pokok negara adalah mensejahterakan
rakyatnya.”
Oya, kembali lagi ke pokok
pembicaraaan, ternyata bukan cuma persoalan keamanan negara saja yang diatur
dalam UU kawan. Tapi, soal keamanan manusia juga telah diatur. Seperti dalam UU
No.39/1999 tentang HAM yang mengatur soal Hak Asasi Manusia. Kita juga sudah
punya UU Penanggulangan Bencana yang mengatur mekanisme menghadapi bencana
alam. Terus ada lagi UU Lingkungan Hidup, mengatur soal konservasi dan segala
hal yang berhubungan dengan upaya pencegahan krisis lingkungan, UU Kesehatan,
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Semua UU tadi dibuat dengan mengingat,
bahwa dimensi dan potensi ancaman itu tidak hanya bersifat fisik dalam bentuk
agresi dari luar yang berhubungan dengan pertahanan (aktor militer) saja. Tapi,
ternyata ada juga ancaman yang bersifat non militer yang tentunya memerlukan aktor
di luar militer untuk mengatasinya. Ancaman non militer itu contohnya seperti
penyakit endemic menular, bahaya kelaparan, bencana alam, dan konflik sosial.
Nah, beberapa UU di atas itulah yang
mengatur dengan detil bagaimana tugas pokok dan fungsi dari masing-masing aktor
keamanan di Indonesia. Jadi seharusnya sudah gak ada lagi yang namanya TNI ikut-ikutan berpolitik praktis dan
ikut campur persoalan sipil. Atau sebaliknya, POLRI yang ikut-ikutan perang
mempertahankan kedaulatan negara. Orang wilayah kerja dan kewenangan
masing-masing aktor sudah dipisahkan secara jelas to.
“Terus gimana soal RUU Kamnas-nya mas?”
“Ohya hampir lupa cak, sorry dari tadi aku keasyikan
cerita sejarah. Ayo kita kembali lagi ke soal RUU Kamnas.”
Tadi sudah kita bicarakan di atas,
bahwa medio 1998 hingga 2004 menunjukkan perjalanan reformasi sektor keaamanan yang
berkembang signifikan. Hal tersebut tercermin dari beberapa produk UU yang telah
dibuat pemerintah, seperti UU TNI, UU Kepolisian Negara dan beberapa UU lainnya.
Namun, sangat disayangkan, setelah lebih dari satu dasawarsa reformasi, malah terjadi
inkonsistensi kebijakan politik serta kebijakan teknis terkait pertahanan dan
militer.
Diantara inkonsistensi tersebut adalah,
munculnya draf RUU Kamnas (aku
menyebutnya jilid I, karena, nanti draf ini diajukan beberapa kali) yang diajukan
oleh Departemen Pertahanan (Dephan) pada 2006. Seingatku, Polri pada waktu itu
menolak secara tegas. Karena dalam draf RUU Kamnas ini, Polri akan kembali
dijadikan satu departemen dengan TNI. Padahal sudah jelas bukan, tugas pokok
dan fungsi kedua Korps ini berbeda. Akhirnya, mau gak mau draf RUU tersebut dikembalikan DPR ke pemerintah.
Setelah isu tersebut terpendam cukup
lama, RUU Kamnas kembali diajukan Dephan ke DPR bersamaan dengan RUU Intelijen pada
30 Maret 2011. Kali ini, untuk kedua kalinya draft RUU Kamnas ditolak DPR karena
definisi keamanan dan ancama yang menurut beberapa pakar pertahanan tidak jelas
dan multi tafsir.
Ternyata Dephan tidak menyerah begitu saja kawan. Pada
Maret 2012 RUU ini diajukan kembali dan lagi-lagi ditolak oleh DPR karena belum ada koreksi terhadap
pasal-pasal kontroversial. Delapan fraksi menolak dan hanya Demokrat saja yang
mendukung. “Dasar partai penguasa ya”.
Hal tersebut tidak membuat Dephan patah arang. Setelah melakukan serangkaian lobby ke seluruh fraksi di DPR, akhirnya
pada 16 Oktober 2012, enam dari sembilan fraksi, menerima draf RUU Kamnas untuk
dibahas dalam sidang paripurna dengan catatan akan memanggil pemerintah untuk
dimintai pendapat.
Hingga saat ini, masih berlangsung
perang urat syaraf antara kelompok pendukung dan yang menolak RUU Kamnas. Di
parlemen, lobby antar fraksi
berlangsung alot. Jadi, kita tunggu saja, apakah para wakil kita itu
betul-betul pro rakyat atau tidak.
“Oh jadi begitu too.. ceritanya. Saya
sudah agak tercerahkan ni Mas. Ternyata panjang juga ya sejarahnya, kayak rel
KRL jurusan Bogor – Tanah Abang. Jadi ketahuan deh siapa yang ngotot dan punya
banyak kepentingan di RUU Kamnas ya”, komentar Rudi.
“Memang,
setelah Dwifungsi ABRI dihapus, peran sosial-politik dalam tubuh angkatan
bersenjat jadi terpangkas. Menurutku, dalam rangka mengembalikan kejayaan masa
lalu, seperti ketika eyang Soeharto masih bertahta dan TNI kebagian banyak kue
kekuasaan, ada beberapa kelompok yang sengaja ingin mengembalikan peran sosial-politik
militer di Indonesia kembali seperti jaman orba dulu.”
Seperti disebutkan bang Coen Husain
Pontoh dalam bukunya “Menentang Mitos Tentara Rakyat”, terbitan Resist Book
itu, bahkan sejak awal pembentukannya, jauh sebelum rezim Orde Baru berkuasa,
angkatan bersenjata selalu berebut kuasa dengan pemerintahan sipil. Antara
keduanya sering bersilang pendapat soal becus tidaknya mengatur pemerintahan
negara yang baru merdeka kala itu.
Di tengah konflik tersebut, kemudian
ada gerbong perwira yang mendukung supremasi sipil (pro pemerintahan sipil) dan
gerbong perwira yang yakin bahwa pemerintahan negara akan lebih baik jika
dijalankan oleh militer. Makanya gak usah heran, jika di tengah konflik
internalnya yang menajam pada waktu itu, angkatan bersenjata (TNI AD) beberapa
kali melakukan percobaan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno, dan gagal.
Padahal, jika kita coba mengintip
perkembangan militersasi di dunia, khususnya negara-negara penganut demokrasi, kekuatan
militer itu fungsinya memang ngurusi soal pertahanan doang—pokoknya perang
ajalah kerjanya. Makanya, ada seorang pakar militer, Andrew Ross namanya, yang
mengkategorikan militerisasi dalam dua tipe, yaitu militerisasi build up & build in.
“Wah, apa lagi itu mas, militerisasi build up dan build in? Jadi tambah panjang ini pengetahuan baru saya. Emang ada hubungannya dengan RUU Kamnas
yang sedang kita bicarakan ini?”
“Ya berhubungan dong cak Rudi. Setelah ini akan kujelaskan
soal militerisasi build up dan build in. Biar nanti kita dapat
identifikasi bareng-bareng, gimana tipe militer di Indonesia dan apa hubungannya
dengan produk UU terkait keamanan yang telah dihasilkan DPR selama satu
dasawarsa terakhir ini. Gimana, setuju?”
“Oke lah… lanjutin mas. Saya ngikut saja.”
Pertama-tama, akan kujelaskan
militerisasi tipe build up ya. Seperti
disebutkan Junaidi Simun, pemerhati militer dari Imparsial, pada tipe ini
(militerisasi build up), militerisasi
didefinisikan dengan proses pembesaran kekuatan militer sebagai alat pertahanan
dan keamanan modern dengan indikator seperti, bertambahnya personel militer,
anggaran militer, teknologi persenjataan, ekspor-impor senjata yang legal, dan
lain sebagainya.
Jadi, pada militerisasi tipe I ini bisa
kita simpulkan, bahwa fokusnya adalah untuk menambah jumlah personel militer.
Penambahan jumlah personil ini kan
harus diiringi dengan dinaikannya anggaran militer untuk kebutuhan logistik dan
memperbarui teknologi persenjataan supaya lebih modern dan canggih.
Secara gitu loh.., para personil militer itu kan juga manusia yang butuh makan dan ‘mainan’ baru. Semakin
terpenuhi kebutuhan logistiknya, maka militer akan lebih professional. Semakin
modern dan canggih ‘mainannya’, dia akan semakin pede terjun ke medan perang. Biar gak suka macet, ato ngeluarin peluru
kosong kalo lagi perang dengan musuh. Kan malu, kalo kapal patroli kita yang
berada di sekitar Kepulauan Natuna kalah cepet dengan kapal patroli milik
negara tetangga. Udah gitu, karena peralatan patrolinya sudah terlalu kuno,
sampe gak bisa ngejar perahu pencuri ikan di Selat Malaka. Haduuhhh… ngenes banget!!
Militerisasi tipe I ini memang ingin
menciptakan militer yang tugasnya khusus ngurusin
soal pertahanan saja. Seperti yang diutarkan Andrew Ross, bahwa sumber-sumber
keuangan yang dimiliki negara sengaja difokuskan untuk membiayai kekuatan
bersenjata atau aktifitas yang terkait dengannya. Selain itu, militer juga dilibatkan
dalam urusan nasional dan internasional.
Kamu sekalian pasti gak asing lagi dengan berita-berita yang
menyebutkan keberadaan pangkalan militer Amerika atau Inggris yang
kadang-kadang diboncengi NATO ada di wilayah-wilayah konflik seperti Timur
Tengah, Asia Pasifik, dan lainnya. Selain memamerkan kekuatan perang dengan
teknologi tercanggih yang bisa membuat musuh manapun gentar melihatnya, militer
model ini juga ikut mengontrol (tanpa mengambil alih) politik domestik.
Tipe selanjutnya adalah militerisasi build in. Kalo kita coba trenungkan
dengan logika, militerisasi tipe II ini pasti berbeda dan bertentangan dengan
tipe I. Ya, memang betul. Menurut Sutoro Eko dalam bukunya “Masyarakat Pasca
Militer”, disebutkan bahwa militerisasi tipe II ini tampil di permukaan dalam
dua bentuk, yaitu: (1) intervensi dan dominasi militer dalam politik yang
melahirkan rezim militer (alias mengambil-alih kekuasaan); (2) internalisasi
nilai, ideologi, perilaku, organisasi, wacana militer dalam masyarakat sipil
(dengan atau tanpa kehadiran militer).
Jadi, pada tipe II ini, bukan jumlah
personel militer yang diperbanyak dengan menambah anggaran, tetapi, malah idiologi dan nilai militerisme
yang digunakan untuk memobilisasi rakyat sipil agar memiliki mental seperti
militer. Gampangnya begini deh, jika
kamu sekalian pernah berpapasan dengan Barisan Serbaguna (Banser) NU, atau Resimen Mahasiswa (Menwa), atau Pemuda
Pancasila, itu adalah beberapa contoh dari penanaman doktrin militerisme di
ranah sipil dalam militerisasi tipe II. Dan itulah yang biasa kita jumpai di
Indonesia kawan.
“Oooo…jadi begitu ya mas. Kalo lagi belanja di pasar Ciputat, saya
sering bertemu dengan sekelompok orang yang
cirri-cirinya persis seperti cerita sampean
tadi. Dia pake seragam loreng dan
kelakuannya sok-sok militer gitu,
padahal dia bukan anggota. Suka malakin
orang-orang di pasar, terus pada suka ribut cuma
karena rebutan lahan parkir tuh”,
jelas Rudi terkekeh.
“Iya, betul cak. Gak di pasar Ciputat saja, tapi di berbagai tempat di Indonesia
banyak yang modelnya seperti itu. Bahasa kren untuk menyebut kelompok orang
yang seperti itu tadi adalah ‘paramiliter’. Jadi orang-orang yang perilakunya
sok seperti militer tapi dia bukan militer. Kemudian paling suka bertindak
dengan menonjolkan prilaku kekerasan.”
“Jadi, sekarang sudah jelas ya mengenai
perjalanan RUU Kamnas dan tipe militer di negara kita ini?”
“Sudah jelas mas. Tapi saya masih
penasaran soal pasal-pasal RUU Kamnas yang menurut sampean tadi berpotensi melanggar HAM dan mengancam demokrasi. Coba
diuraikan semua pasal-pasalnya, biar saya dan yang masih telaten baca catatan
ini tambah paham.”
“Oke, ayo kita bedah pasal-pasalnya
biar tambah terang.”
Pasal-Pasal
Kontroversial RUU Kamnas
Sampai detik ini, suara-suara kontra
terhadap RUU Kamnas terus bergema. Melalui diskusi-diskusi publik yang
diorganisir akademisi, aksi demostrasi di jalan yang dipelopori buruh, petani
dan mahasiswa, sampai rombongan Organisasi Non Pemerintah yang menyampaikan keberatan
dengan cara berdialog dengan politisi-politisi di parlemen. Suara mereka jelas
dan semakin nyaring, “Tolak RUU Kamnas!”.
Beberapa
kelompok penolak RUU Kamnas yang terdiri dari elemen masyarakat sipil,
mahasiswa, agamawan, pers, buruh, petani dan lainnya, menilai ada beberapa
pasal yang janggal. Tau gak siihh..? Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang
dikeluarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Menolak RUU Kamnas, 40 dari 55 pasal
RUU Kamnas dinyatakan bermasalah, alias gak
jelas dan multi tafsir. “Pada gak
serius banget ya menyusun
undang-undangnya!”
Kemudian, hakmu sebagai warga negara, gak bakal
dihormati. Pasalnya, pemerintah lupa mencantumkan Pasal 28 Konstitusi (yang
mengatur soal HAM) dalam landasan dasar mengingat RUU ini.
Kamu sekalian yang berkeyakinan Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Ahmadiyah, dsb, siap-siap aja! Soalnya, ‘ideologi’
termasuk dalam kategori ancaman dalam RUU ini (pasal 1 ayat 2). “Gila! masa’ orang memiliki keyakinan tertentu
mau diatur-atur.”
Bagi kamu yang masih ngampus, ini
merupaka ancaman buat kalian. Aku yakin, kampus adalah tempat teori-teori
dikonsolidasikan. Kampus adalah tempat di mana ideologi-ideologi bebas didiskusikan
secara akademis. Dan ideologi adalah cara pandang dan keyakinan seseorang
sehingga gak bisa dikriminalkan.
Bayangin aja, jika suatu ketika kita tengah belajar soal
ideologi atau teori tertentu di kampus, dan negara menganggapnya sebagai potensi
ancaman keamanan nasional, kita bisa ditangkap sembarangan cuy! Menurutku, tindakan kejahatan yang mengatasnamakan ideologi
tertentu itulah yang bisa menjadi ancaman. Tetapi bukan keyakinan dan cara
pandangnya (ideologi) yang harus diberangus.
Lagian,
seiring berjalannya waktu, acaman yang dihadapi bangasa ini, buka hanya yang
bersifat militer (perang) saja, tapi juga bersifat non militer (krisis pangan,
bencana alam, dan penyakit menular). Gila bos! Masa TNI pengen ngambil peran
itu semua? Kasihan dong Pak Polisi
dan masyarakat sipil, kalo wilayah
kerjanya diserobot.
RUU Kamnas juga berpotensi disalah
gunakan oleh kekuasaan (abuse of power)
untuk menghadapi kelompok-kelompok kritis terhadap kekuasaan (penjelasan Pasal
17). Dengan atas nama ancaman keamanan nasional dengan kategori ‘menghancurkan
nilai moral etika bangsa’ dan ‘ancaman lain-lain’, maka negara dapat seenaknya
membungkam media yang kritis terhadap kekuasaan, atau buruh, petani, mahasiswa
yang melakukan demonstrasi terhadap kekuasaan.
RUU Kamnas juga pesanan investor asing lho. Soalnya, rencana pembangunan
Indonesia dalam Master Plan Percepata Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),
akan menjadikan industri pertambangan dan eksploitasi SDA sebagai penopangnya. SBY
selalu menawarkan proposal ini kepada negara-negara di ASEAN bahka G-20, agar
mereka tertarik menanamka modalnya di Indonesia. Jadi militer dan politisi
sipil kita cuma jadi ‘Centeng’ yang mengamankan aset-aset mereka.
Terakhir. Waspada! Kalo RUU ini disahkan,
militer bakal kembali lagi masuk ke wilayah sipil (pasal 28-29).
“Bah!…jadi begitu ya mas. Ngeri kali… kita bisa balik lagi seperti zaman Orde Baru dulu.
Ternyata masih banyak pasal-pasal yang bermasalah dalam RUU Kamnas ini. Saya
jadi khawatir, kalo tiba-tiba suatu
saat aktifitas ekonomi yang saya lakukan dianggap mengancam keamanan negara, malahan saya bisa ditangkap tiba-tiba ya.”
“Ya gak segitunya lah cak. Memang, secara
keseluruhan, dari penjelasan di atas, kita dapat buktikan bahwa RUU Kamnas itu
masih memiliki permasalahan secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Tapi
yang penting, kita harus sebarkan keresahan kita ini kepada semua orang.”
“Iya mas. biar semua orang tau. Terus
mereka pada ikut melakukan penolakan terhadap RUU ini. Jangan dosen, politisi
dan mahasiswa doang yang boleh
protes. Pedagang kaki lima seperti saya ini juga boleh ikutan nolak dooong...”
“Hehe…setuju aku sama sampean cak.”
***
Malam itu keresahanku terbagi. Ya. Akan
kusiarkan semangat dari pinggiran ini kepada siapapun yang masih mau melawan. Agar
semangat ini membesar seperti bola salju dan menerjang, merobohkan tembok-tembok
bisu penguasa tiran. Kepada pedagang bakso, kepada pedagang asongan, kepada tukang cangkul, kepada buruh-buruh pabrik. Dan
kepada siapapun yang punya cita-cita membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Bagaimana denganmu. Mau ikut melawan?
mau bakso cak rudi, ato mau ikut kritis RUU Kamnas. ayo pilih yang mana..??
BalasHapusyang lagi rapat di senayan, ajakin makan bakso aja mas, haha biar pada sadar kalo masyarakat udah gak sebodoh dulu haha
BalasHapushehe, udah kebanyakan duit mereka. masak yang traktir anak kosan.
BalasHapusgimana ini sineas muda -Haris Huda, berbakat, dan berbahaya..hehe
buku2 sejarah banyak cerita, dulu ketika zaman revolusi kemerdekaan, para seniman itu bersikap turut mendukung jalannya Indonesia merdeka lewat karya-karyanya.