Rabu, 12 Desember 2012

Hidup di Tengah Ancaman


Kawan, apakah kamu pernah merasa jiwamu dalam kondisi terancam? Dalam menjalani hidup di tengah belantara dunia ini, wajar rasanya seorang manusia menerima suatu ancaman dari orang lain. Kalo anak rantau, biasanya sih sering diancam ibu yang punya kosan karena telat bayar uang sewa kamar kos plus listrik yang harus disetor rutin tiap awal bulan. Atau, para mahasiswa yang merasa terancam karena diultimatum rektor akan di DO gara-gara rajin bolos kuliah dan milih berunjukrasa di jalan menolak komersialisasi pendidikan.
Kurasa, masih banyak lagi peristiwa lain, yang secara tak langsung dapat berpotensi mengancam diri kita. Sederhananya, dua hal di atas adalah salah satu bentuk ancaman terkecil yang akrab dan dekat dengan anak-anak muda perantau. Mungkin salah satu dari kalian pernah mengalaminya. Tentu, ancaman itu tak begitu membahayakan kehidupan seseorang bukan. Atau sampai merampas hak-hak seorang manusia di negeri Merdeka ini.
Tapi, apakah kamu yang sedang baca catatan ini, pernah bertanya-tanya, gimana jadinya jika suatu ancaman itu datang dalam bentuk yang terstruktur, kemudian legal menurut hukum, dan dilakukan oleh Negara terhadap warga negaranya?
Penasaran? Atau, malah bingung? Lanjutin aja bacanya.
***
Suatu malam pertengahan November 2012, saat itu sedang gerimis. Sambil menikmati semangkok bakso yang masih mengepulkan asap, aku  ngobrol dengan penjualnya. Gerobak sederhana ‘Bakso Malang-nya’ biasa mangkal di gang sempit samping kosan. Sejak lama baksonya jadi langgananku dan seluruh penghuni kos belakang tukang cuci motor Jl. Semanggi II No.5, Kelurahan Pisangan, Kecamatan Ciputat Timur Tangerang Selatan. Aku biasa memanggilnya Cak Rudi. Asli dari Malang, Jawa Timur. Masih muda, umurnya belum juga sampai empatpuluh tahun.
Tapi, stop dulu cerita mengenai cak Rudi dan Bakso Malang yang murah dan sedap itu kawan. Hal itu akan kuceritakan lain kali saja. Atau, nanti sambil cerita, kutraktir kalian seporsi bakso Malang kalo perlu. hehe…
Kali ini aku ingin berkisah soal lain kawan. Aku ingin berkisah tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul soal kampung halaman kami, akhirnya aku mulai bercerita tentang keresahanku mengenai situasi Indonesia yang saat ini sedang carut marut gak karuan. Penuntasan kasus korupsi yang tak kunjung selesai. Pendidikan yag tambah mahal karena sudah menjadi komoditas privat. Buruh yang terus ditekan pengusaha-pengusaha kaya karena menuntut upah layak dan penghapusan kerja kontrak (outsourching). Petani yang terus-terusan terdesak karena lahannya dicaplok negara dengan alasan pembangunan. Dan masih ada segunung masalah lain yang ngantri untuk segera diselesaikan.
Di antara daftar panjang masalah yang tengah menguji bangsa ini, adalah isu keamanan nasional yang paling menyita perhatianku dalam beberapa bulan terakhir. Di tengah merebaknya konflik-konflik sosial akibat perebutan SDA, dan terkadang dibumbui dengan isu SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan), pemerintah sedang menyiapkan sebuah undang-undang yang secara subtansi dapat mengancam dan menghina martabat seluruh warga negara Indonesia. Dan sepontan saja, kawan bicaraku malam itu terkaget-kaget, tak percaya.
“Lho, ko bisa begitu mas. Mosok Negara yang diberi amanat oleh konstitusi untuk memberi jaminan kesejahteraan dan keamanan kepada tiap warga negaranya, malah mengancaman warga negaranya to? Ngaco ah”, kata cak Rudi tak percaya.
“Ya bisa aja dong cak Rudi, sudah biasa itu terjadi. Lha wong Negara kita yang diwakili Kementerian Pertahanan, sekarang ini sedang mengajukan draft peraturan perundang-undangan yang isi pasalnya berpotensi mengancam demokrasi dan hak dasar kita-kita ini sebgai warga negara”, jawabku.
“Ahh…yang bener aja masnya. Emang peraturan macam apa itu, yang kata sampean tadi berpotensi mengancam demokrasi dan melanggar hak kita sebagai warga negara?”, tambahnya meminta penjelasan.
“Wakil-wakil rakyat kita yang duduk manis di Senayan itu, saat ini akan membahas yang namanya Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Orang-orang di luar sana biasa menyebutnya RUU Kamnas cak. Jadi RUU itu yang kumaksud akan mengarahkan negara kita menjadi Negara yang totaliter.”
“Perkembangan terakhir yang kutau dari koran-koran dan hasil ngobrol sana-sini menyebutkan, kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari ilmuan, agamawan, dosen, aktvis pegiat civil society, dan mahasiswa, sepakat untuk menolak pembahasan RUU Kamnas ini. Nah, sementara itu cak, fraksi-fraksi partai di DPR RI yang katanya mewakil rakyat itu, mayoritas mendukung RUU Kamnas. Kalo tidak salah, dari keseluruhan sembilan fraksi, sementara ini cuma tiga fraksi doang yang nolak. Yang lainnya, gak tau deh ke mana? Ke laut kali ye…?”
Sik…sik, sebentar mas. Negara yang totaliter itu gimana to?”, potong Rudi.
“Negara yang totaliter itu maksudnya negara yang menjalankan pemerintahan dengan tangan besi cak. Misalnya, ada warganya yang kritis, gak boleh. Atau, ada warga yang meminta haknya sebagai warga negara dipenuhi seperti pendidikan murah, kesehatan dan pekerjaan yang layak, malah dihadapi dengan kekerasan. Pokoknya, semuanya harus manut sama si penguasa.”
“Hmmm…. malah jadi pusing saya. Tambah bingung mas. Saya kan bukan anak kuliahan. Jadi suka ribet kalo ngomongin soal negara. Kalo saya mah, yang penting dagangan bakso saya habis, terus gak ada orang yang narikin pungli, terus hasilnya cukup untuk makan anak istri di rumah. Sing penting keluargaku wareg, anakku iso sekolah (yang penting keluargaku kenyang, anakku bisa sekolah), saya sudah merasa aman.”
“Coba dong dijelaskan dengan gamblang biar saya tidak bingung. Sampean kan mahasiswa, pasti lebih banyak tau soal begituan daripada saya”, ujar Rudi meminta pertanggungjawaban dariku.
“Oke, kalo begitu, akan coba kujelaskan khusus buat sampean dan siapapun yang berminat membaca. Dengan gak bermaksud mau menggurui atau sok tau, jadi tolong disimak baik-baik ya…”
Setelah Dwifungsi ABRI Dicabut...
Sebelum kita bahas secara mendalam isi RUU Kamnas, ayo terlebih dahulu kita lihat rekam jejak perjalanan RUU yang tiba-tiba nongol dan tengah menjadi polemik ini.
Usut punya usust, transisi demokrasi di Indonesia pada 1998 yang kejadiannya seiring dengan krisis multi-dimensi (bidang ekonomi, politik, dan sosial), ternyata memberikan keyakinan kepada para arsitek reformasi untuk melakukan perombakan secara total di bidang politik. Menurut mereka, hal ini sangat mendesak, mengingat rezim orde baru yang berkuasa selama 32 tahun, telah mewariskan sistem politik yang transaksional. Maka, usaha “mengembalikan militer ke barak” menjadi salah satu agenda pokok reformasi 1998.
Jika kawan-kawan masih ingat, dulu itu ada yang namanya doktrin Dwifungsi ABRI. Doktrin Dwifungsi ini menghalalkan militer (TNI) untuk ikut berpolitik. Terus, TNI juga terkenal punya lisensi khusus dari penguasa untuk melakukan kegiatan bisnis di mana-mana, dan sekaligus suka ikut-ikut campur urusan sipil mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Pada waktu itu, TNI yakin kalo mereka punya fungsi sosial dan politik sekaligus di tengah-tengah masyarakat. Nah…sekarang doktrin itu sudah usang.
Untuk menjawab tantangan zaman, sektor keamanan di Indonesia harus dirombak. Jadi, perlu batasan yang jelas antara wilayah pertahanan negara (ditangani oleh aktor militer) dan keamanan sipil (ditangani oleh aktor non-militer). Selanjutnya, doktrin Dwifungsi ABRI yang sudah usang tadi harus dihapus dong. TNI dan POLRI kudu dipisahkan pokoknya. TNI harus profesional, gak ikut-ikutan berpolitik praktis dan dipisahkan dari kegiatan bisnis.
Dalam kerangka reformasi sektor keamanan tersebut, maka pemerintah membuat peraturan-peraturan hukum sebagai penunjangnya. Seperti data yang dicatat oleh Pro Patria Institute, kurun 1998 hingga 2011 pemerintah telah menerbitkan Tap MPR-RI No.VI dan No.VII tahun 2000 yang kemudian mengilhami lahirnya legislasi yang mengatur soal keamanan negara seperti, UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara, UU No.3/2002 tentang Sistem Pertahana Semesta, UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme, UU No.34/2004 tentang TNI, dan UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara.
Kalo tiba-tiba ada yang bilang, “mau reformasi aja ko’ ribet ya, harus buat banyak UU. Kan repot, terus susah dihafal saking banyaknya peraturan dibuat. Toh, banyak juga yang dilanggar.”
“Ya memang seperti itu cuy, konsekuensi hidup di negara hukum seperti di Indonesia ini. Semua hal, mulai dari urusan sandag, pangan, kesehatan dan pendidikan, harus dibuat pedoman hukumnya.  Biar setiap orang ingat, bahwa tugas pokok negara adalah mensejahterakan rakyatnya.”
Oya, kembali lagi ke pokok pembicaraaan, ternyata bukan cuma persoalan keamanan negara saja yang diatur dalam UU kawan. Tapi, soal keamanan manusia juga telah diatur. Seperti dalam UU No.39/1999 tentang HAM yang mengatur soal Hak Asasi Manusia. Kita juga sudah punya UU Penanggulangan Bencana yang mengatur mekanisme menghadapi bencana alam. Terus ada lagi UU Lingkungan Hidup, mengatur soal konservasi dan segala hal yang berhubungan dengan upaya pencegahan krisis lingkungan, UU Kesehatan, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Semua UU tadi dibuat dengan mengingat, bahwa dimensi dan potensi ancaman itu tidak hanya bersifat fisik dalam bentuk agresi dari luar yang berhubungan dengan pertahanan (aktor militer) saja. Tapi, ternyata ada juga ancaman yang bersifat non militer yang tentunya memerlukan aktor di luar militer untuk mengatasinya. Ancaman non militer itu contohnya seperti penyakit endemic menular, bahaya kelaparan, bencana alam, dan konflik sosial.
Nah, beberapa UU di atas itulah yang mengatur dengan detil bagaimana tugas pokok dan fungsi dari masing-masing aktor keamanan di Indonesia. Jadi seharusnya sudah gak ada lagi yang namanya TNI ikut-ikutan berpolitik praktis dan ikut campur persoalan sipil. Atau sebaliknya, POLRI yang ikut-ikutan perang mempertahankan kedaulatan negara. Orang wilayah kerja dan kewenangan masing-masing aktor sudah dipisahkan secara jelas to.
“Terus gimana soal RUU Kamnas-nya mas?”
“Ohya hampir lupa cak, sorry dari tadi aku keasyikan cerita sejarah. Ayo kita kembali lagi ke soal RUU Kamnas.”
Tadi sudah kita bicarakan di atas, bahwa medio 1998 hingga 2004 menunjukkan perjalanan reformasi sektor keaamanan yang berkembang signifikan. Hal tersebut tercermin dari beberapa produk UU yang telah dibuat pemerintah, seperti UU TNI, UU Kepolisian Negara dan beberapa UU lainnya. Namun, sangat disayangkan, setelah lebih dari satu dasawarsa reformasi, malah terjadi inkonsistensi kebijakan politik serta kebijakan teknis terkait pertahanan dan militer.
Diantara inkonsistensi tersebut adalah, munculnya draf RUU Kamnas (aku menyebutnya jilid I, karena, nanti draf ini diajukan beberapa kali) yang diajukan oleh Departemen Pertahanan (Dephan) pada 2006. Seingatku, Polri pada waktu itu menolak secara tegas. Karena dalam draf RUU Kamnas ini, Polri akan kembali dijadikan satu departemen dengan TNI. Padahal sudah jelas bukan, tugas pokok dan fungsi kedua Korps ini berbeda. Akhirnya, mau gak mau draf RUU tersebut dikembalikan DPR ke pemerintah.
Setelah isu tersebut terpendam cukup lama, RUU Kamnas kembali diajukan Dephan ke DPR bersamaan dengan RUU Intelijen pada 30 Maret 2011. Kali ini, untuk kedua kalinya draft RUU Kamnas ditolak DPR karena definisi keamanan dan ancama yang menurut beberapa pakar pertahanan tidak jelas dan multi tafsir.
Ternyata  Dephan tidak menyerah begitu saja kawan. Pada Maret 2012 RUU ini diajukan kembali dan lagi-lagi ditolak  oleh DPR karena belum ada koreksi terhadap pasal-pasal kontroversial. Delapan fraksi menolak dan hanya Demokrat saja yang mendukung. “Dasar partai penguasa ya”. Hal tersebut tidak membuat Dephan patah arang. Setelah melakukan serangkaian lobby ke seluruh fraksi di DPR, akhirnya pada 16 Oktober 2012, enam dari sembilan fraksi, menerima draf RUU Kamnas untuk dibahas dalam sidang paripurna dengan catatan akan memanggil pemerintah untuk dimintai pendapat.
Hingga saat ini, masih berlangsung perang urat syaraf antara kelompok pendukung dan yang menolak RUU Kamnas. Di parlemen, lobby antar fraksi berlangsung alot. Jadi, kita tunggu saja, apakah para wakil kita itu betul-betul pro rakyat atau tidak.
“Oh jadi begitu too.. ceritanya. Saya sudah agak tercerahkan ni Mas. Ternyata panjang juga ya sejarahnya, kayak rel KRL jurusan Bogor – Tanah Abang. Jadi ketahuan deh siapa yang ngotot dan punya banyak kepentingan di RUU Kamnas ya”, komentar Rudi.
 “Memang, setelah Dwifungsi ABRI dihapus, peran sosial-politik dalam tubuh angkatan bersenjat jadi terpangkas. Menurutku, dalam rangka mengembalikan kejayaan masa lalu, seperti ketika eyang Soeharto masih bertahta dan TNI kebagian banyak kue kekuasaan, ada beberapa kelompok yang sengaja ingin mengembalikan peran sosial-politik militer di Indonesia kembali seperti jaman orba dulu.”
Seperti disebutkan bang Coen Husain Pontoh dalam bukunya “Menentang Mitos Tentara Rakyat”, terbitan Resist Book itu, bahkan sejak awal pembentukannya, jauh sebelum rezim Orde Baru berkuasa, angkatan bersenjata selalu berebut kuasa dengan pemerintahan sipil. Antara keduanya sering bersilang pendapat soal becus tidaknya mengatur pemerintahan negara yang baru merdeka kala itu.
Di tengah konflik tersebut, kemudian ada gerbong perwira yang mendukung supremasi sipil (pro pemerintahan sipil) dan gerbong perwira yang yakin bahwa pemerintahan negara akan lebih baik jika dijalankan oleh militer. Makanya gak usah heran, jika di tengah konflik internalnya yang menajam pada waktu itu, angkatan bersenjata (TNI AD) beberapa kali melakukan percobaan kudeta terhadap pemerintahan Soekarno, dan gagal.  
Padahal, jika kita coba mengintip perkembangan militersasi di dunia, khususnya negara-negara penganut demokrasi, kekuatan militer itu fungsinya memang ngurusi soal pertahanan doang—pokoknya perang ajalah kerjanya. Makanya, ada seorang pakar militer, Andrew Ross namanya, yang mengkategorikan militerisasi dalam dua tipe, yaitu militerisasi build up & build in.
“Wah, apa lagi itu mas, militerisasi build up dan build in? Jadi tambah panjang ini pengetahuan baru saya. Emang ada hubungannya dengan RUU Kamnas yang sedang kita bicarakan ini?”
“Ya berhubungan dong cak Rudi. Setelah ini akan kujelaskan soal militerisasi build up dan build in. Biar nanti kita dapat identifikasi bareng-bareng, gimana tipe militer di Indonesia dan apa hubungannya dengan produk UU terkait keamanan yang telah dihasilkan DPR selama satu dasawarsa terakhir ini. Gimana, setuju?”
“Oke lah… lanjutin mas. Saya ngikut saja.”
Pertama-tama, akan kujelaskan militerisasi tipe build up ya. Seperti disebutkan Junaidi Simun, pemerhati militer dari Imparsial, pada tipe ini (militerisasi build up), militerisasi didefinisikan dengan proses pembesaran kekuatan militer sebagai alat pertahanan dan keamanan modern dengan indikator seperti, bertambahnya personel militer, anggaran militer, teknologi persenjataan, ekspor-impor senjata yang legal, dan lain sebagainya.
Jadi, pada militerisasi tipe I ini bisa kita simpulkan, bahwa fokusnya adalah untuk menambah jumlah personel militer. Penambahan jumlah personil ini kan harus diiringi dengan dinaikannya anggaran militer untuk kebutuhan logistik dan memperbarui teknologi persenjataan supaya lebih modern dan canggih.
Secara gitu loh.., para personil militer itu kan juga manusia yang butuh makan dan ‘mainan’ baru. Semakin terpenuhi kebutuhan logistiknya, maka militer akan lebih professional. Semakin modern dan canggih ‘mainannya’, dia akan semakin pede terjun ke medan perang. Biar gak suka macet, ato ngeluarin peluru kosong kalo lagi perang dengan musuh. Kan malu, kalo kapal patroli kita yang berada di sekitar Kepulauan Natuna kalah cepet dengan kapal patroli milik negara tetangga. Udah gitu, karena peralatan patrolinya sudah terlalu kuno, sampe gak bisa ngejar perahu pencuri ikan di Selat Malaka. Haduuhhh… ngenes banget!!
Militerisasi tipe I ini memang ingin menciptakan militer yang tugasnya khusus ngurusin soal pertahanan saja. Seperti yang diutarkan Andrew Ross, bahwa sumber-sumber keuangan yang dimiliki negara sengaja difokuskan untuk membiayai kekuatan bersenjata atau aktifitas yang terkait dengannya. Selain itu, militer juga dilibatkan dalam urusan nasional dan internasional.
Kamu sekalian pasti gak asing lagi dengan berita-berita yang menyebutkan keberadaan pangkalan militer Amerika atau Inggris yang kadang-kadang diboncengi NATO ada di wilayah-wilayah konflik seperti Timur Tengah, Asia Pasifik, dan lainnya. Selain memamerkan kekuatan perang dengan teknologi tercanggih yang bisa membuat musuh manapun gentar melihatnya, militer model ini juga ikut mengontrol (tanpa mengambil alih) politik domestik.
Tipe selanjutnya adalah militerisasi build in. Kalo kita coba trenungkan dengan logika, militerisasi tipe II ini pasti berbeda dan bertentangan dengan tipe I. Ya, memang betul. Menurut Sutoro Eko dalam bukunya “Masyarakat Pasca Militer”, disebutkan bahwa militerisasi tipe II ini tampil di permukaan dalam dua bentuk, yaitu: (1) intervensi dan dominasi militer dalam politik yang melahirkan rezim militer (alias mengambil-alih kekuasaan); (2) internalisasi nilai, ideologi, perilaku, organisasi, wacana militer dalam masyarakat sipil (dengan atau tanpa kehadiran militer).
Jadi, pada tipe II ini, bukan jumlah personel militer yang diperbanyak dengan menambah anggaran, tetapi, malah idiologi dan nilai militerisme yang digunakan untuk memobilisasi rakyat sipil agar memiliki mental seperti militer. Gampangnya begini deh, jika kamu sekalian pernah berpapasan dengan Barisan Serbaguna (Banser) NU, atau  Resimen Mahasiswa (Menwa), atau Pemuda Pancasila, itu adalah beberapa contoh dari penanaman doktrin militerisme di ranah sipil dalam militerisasi tipe II. Dan itulah yang biasa kita jumpai di Indonesia kawan.
“Oooo…jadi begitu ya mas. Kalo lagi belanja di pasar Ciputat, saya sering bertemu  dengan sekelompok orang yang cirri-cirinya persis seperti cerita sampean tadi. Dia pake seragam loreng dan kelakuannya sok-sok militer gitu, padahal dia bukan anggota. Suka malakin orang-orang di pasar, terus pada suka ribut cuma karena rebutan lahan parkir tuh”, jelas Rudi terkekeh.
“Iya, betul cak. Gak di pasar Ciputat saja, tapi di berbagai tempat di Indonesia banyak yang modelnya seperti itu. Bahasa kren untuk menyebut kelompok orang yang seperti itu tadi adalah ‘paramiliter’. Jadi orang-orang yang perilakunya sok seperti militer tapi dia bukan militer. Kemudian paling suka bertindak dengan menonjolkan prilaku kekerasan.”
“Jadi, sekarang sudah jelas ya mengenai perjalanan RUU Kamnas dan tipe militer di negara kita ini?”
“Sudah jelas mas. Tapi saya masih penasaran soal pasal-pasal RUU Kamnas yang menurut sampean tadi berpotensi melanggar HAM dan mengancam demokrasi. Coba diuraikan semua pasal-pasalnya, biar saya dan yang masih telaten baca catatan ini tambah paham.”
“Oke, ayo kita bedah pasal-pasalnya biar tambah terang.”
Pasal-Pasal Kontroversial RUU Kamnas
Sampai detik ini, suara-suara kontra terhadap RUU Kamnas terus bergema. Melalui diskusi-diskusi publik yang diorganisir akademisi, aksi demostrasi di jalan yang dipelopori buruh, petani dan mahasiswa, sampai rombongan Organisasi Non Pemerintah yang menyampaikan keberatan dengan cara berdialog dengan politisi-politisi di parlemen. Suara mereka jelas dan semakin nyaring, “Tolak RUU Kamnas!”.
Beberapa kelompok penolak RUU Kamnas yang terdiri dari elemen masyarakat sipil, mahasiswa, agamawan, pers, buruh, petani dan lainnya, menilai ada beberapa pasal yang janggal. Tau gak siihh..? Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang dikeluarkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Menolak RUU Kamnas, 40 dari 55 pasal RUU Kamnas dinyatakan bermasalah, alias gak jelas dan multi tafsir. “Pada gak serius banget ya menyusun undang-undangnya!”
Kemudian, hakmu sebagai warga negara, gak bakal dihormati. Pasalnya, pemerintah lupa mencantumkan Pasal 28 Konstitusi (yang mengatur soal HAM) dalam landasan dasar mengingat RUU ini.
Kamu sekalian yang berkeyakinan Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Ahmadiyah, dsb, siap-siap aja! Soalnya, ‘ideologi’ termasuk dalam kategori ancaman dalam RUU ini (pasal 1 ayat 2). “Gila! masa’ orang memiliki keyakinan tertentu mau diatur-atur.”
Bagi kamu yang masih ngampus, ini merupaka ancaman buat kalian. Aku yakin, kampus adalah tempat teori-teori dikonsolidasikan. Kampus adalah tempat di mana ideologi-ideologi bebas didiskusikan secara akademis. Dan ideologi adalah cara pandang dan keyakinan seseorang sehingga gak bisa dikriminalkan.
Bayangin aja,  jika suatu ketika kita tengah belajar soal ideologi atau teori tertentu di kampus, dan negara menganggapnya sebagai potensi ancaman keamanan nasional, kita bisa ditangkap sembarangan cuy! Menurutku, tindakan kejahatan yang mengatasnamakan ideologi tertentu itulah yang bisa menjadi ancaman. Tetapi bukan keyakinan dan cara pandangnya (ideologi) yang harus diberangus.
Lagian, seiring berjalannya waktu, acaman yang dihadapi bangasa ini, buka hanya yang bersifat militer (perang) saja, tapi juga bersifat non militer (krisis pangan, bencana alam, dan penyakit menular). Gila bos! Masa TNI pengen ngambil peran itu semua? Kasihan dong Pak Polisi dan masyarakat sipil, kalo wilayah kerjanya diserobot.
RUU Kamnas juga berpotensi disalah gunakan oleh kekuasaan (abuse of power) untuk menghadapi kelompok-kelompok kritis terhadap kekuasaan (penjelasan Pasal 17). Dengan atas nama ancaman keamanan nasional dengan kategori ‘menghancurkan nilai moral etika bangsa’ dan ‘ancaman lain-lain’, maka negara dapat seenaknya membungkam media yang kritis terhadap kekuasaan, atau buruh, petani, mahasiswa yang melakukan demonstrasi terhadap kekuasaan.
RUU Kamnas juga pesanan investor asing lho. Soalnya, rencana pembangunan Indonesia dalam Master Plan Percepata Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), akan menjadikan industri pertambangan dan eksploitasi SDA sebagai penopangnya. SBY selalu menawarkan proposal ini kepada negara-negara di ASEAN bahka G-20, agar mereka tertarik menanamka modalnya di Indonesia. Jadi militer dan politisi sipil kita cuma jadi ‘Centeng’ yang mengamankan aset-aset mereka.
Terakhir. Waspada! Kalo RUU ini disahkan, militer bakal kembali lagi masuk ke wilayah sipil (pasal 28-29).
“Bah!…jadi begitu ya mas. Ngeri kali… kita bisa balik lagi seperti zaman Orde Baru dulu. Ternyata masih banyak pasal-pasal yang bermasalah dalam RUU Kamnas ini. Saya jadi khawatir, kalo tiba-tiba suatu saat aktifitas ekonomi yang saya lakukan dianggap mengancam keamanan negara, malahan saya bisa ditangkap tiba-tiba ya.”
“Ya gak segitunya lah cak. Memang, secara keseluruhan, dari penjelasan di atas, kita dapat buktikan bahwa RUU Kamnas itu masih memiliki permasalahan secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Tapi yang penting, kita harus sebarkan keresahan kita ini kepada semua orang.”
“Iya mas. biar semua orang tau. Terus mereka pada ikut melakukan penolakan terhadap RUU ini. Jangan dosen, politisi dan mahasiswa doang yang boleh protes. Pedagang kaki lima seperti saya ini juga boleh ikutan nolak dooong...”
“Hehe…setuju aku sama sampean cak.”
***
Malam itu keresahanku terbagi. Ya. Akan kusiarkan semangat dari pinggiran ini kepada siapapun yang masih mau melawan. Agar semangat ini membesar seperti bola salju dan menerjang, merobohkan tembok-tembok bisu penguasa tiran. Kepada pedagang bakso, kepada pedagang asongan, kepada  tukang cangkul, kepada buruh-buruh pabrik. Dan kepada siapapun yang punya cita-cita membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Bagaimana denganmu. Mau ikut melawan?

3 komentar:

  1. mau bakso cak rudi, ato mau ikut kritis RUU Kamnas. ayo pilih yang mana..??

    BalasHapus
  2. yang lagi rapat di senayan, ajakin makan bakso aja mas, haha biar pada sadar kalo masyarakat udah gak sebodoh dulu haha

    BalasHapus
  3. hehe, udah kebanyakan duit mereka. masak yang traktir anak kosan.
    gimana ini sineas muda -Haris Huda, berbakat, dan berbahaya..hehe
    buku2 sejarah banyak cerita, dulu ketika zaman revolusi kemerdekaan, para seniman itu bersikap turut mendukung jalannya Indonesia merdeka lewat karya-karyanya.

    BalasHapus