Selasa, 27 November 2012

Menjadi Mahasiswa 100%

        Ketika masa Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (dulu disebut OSPEK/PROPESA, kini OPAK) sedang berlangsung di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sederet panitia yang sedang ngaso di taman, saya tanyai tentang pengertian mahasiswa malah bingung sambil menjawab ragu, “mahasiswa itu ya seperti kita ini bang, datang ke kampus terus belajar sama dosen”. Pemudi yang saya tanyai ini memilih bidang studi komunikasi jurusan jurnalistik semester III dan tak merasa perlu berburu pemahaman makna mahasiswa. Mereka tak pernah ikut diskusi politik dan enggan baca buku Sarwono, Soekarno atau diktat Undang-Undang Dasar tentang konsep dan tugas mahasiswa yang disampaikan tokoh-tokoh di atas. Salah satu teman di sampingnya malah ikutan nyeletuk, mengklarifikasi, “emang situ bukan mahasiswa, ko masih nanya juga?”.
 Memang, makna kata mahasiswa sering membuat kita bingung. Pasalnya, semakin hari, kata mahasiswa direduksi sebatas makna lahiriyah (yang tampak) saja—“orang yang datang ke kampus dan belajar dengan dosen”, misalnya. Sementara tugas dan fungsi mahasiswa, malah dilupakan. Padahal rentang sejarah merekam, bahwa mahasiswa selalu berada pada posisi vital saat terjadi peristiwa-peristiwa besar di negeri ini. Meski berangkat dari hasil diskusi dengan beberapa teman, paparan ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan wacana pribadi dan bagi siapa saja yang berkenan membaca.
Beberapa Istilah
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1980 tertulis arti kata mahasiswa, “orang yang belajar di perguruan tinggi”. Setelah beberapa kali membolak-balik lembaran KKBI yang tebal itu, ternyata saya tidak mendapatkan penjelasan yang lebih konprehensif mengenai kata mahasiswa didalamnya.
Pengertian selanjutnya, seperti tertulis pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 tahun 1990, Pemerintah Republik Indonesia (RI) mendefinisikan mahasiswa sebagai peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Sementara itu, Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Bab VI Pasal 19 menyebutkan bahwa, mahasiswa sebenarnya hanya sebutan akademis bagi siswa/murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya.
Sarwono (1978) mendefinisikan mahasiswa sebagai tiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Secara sosial, mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena memiliki ikatan dengan perguruan tinggi. Mahaiswa juga identik sebagai calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang syarat dengan berbagai predikat.
Knopfemacher seperti dikutip Suwono juga menyebutkan hal yang mirip dengan apa yang telah disebutkan Sarwono, mahasiswa merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual (Suwono, 1978).
Secara umum, berbagai pendapat di atas menyebutkan beberapa garis besar pengertian mahasiswa. Pertama, mahasiswa adalah seseorang yang secara umur digolongkan sebagai pemuda, yaitu antara 18-30 tahun. Kedua, seorang mahasiswa sebagai calon intelektual, memiliki kadar keilmuan tinggi, dan ketiga, karena ikatannya dengan perguruan tinggi, maka otomatis status sosialnya menjadi lebih tinggi daripada yang bukan mahasiswa. Karena status sosial yang lebih tinggi dan berada di level tengah dalam bangun hirarki kelas sosial masyarakat, meminjam istilah Sukarno, mahasiswa biasa disebut “borjuis kecil”.
Tinjauan Sejarah
Sebagai mahluk sosial, kita tidak boleh melupakan sejarah. Kita dapat belajar tentang kebaikan dan keburukan dari kisah-kisah terdahulu. Maka, Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Sukarno.
Sejarah mahasiswa di Indonesia adalah sejarah pergulatan dan pergerakan.  Kisah-kisah heroik perlawanan selalu dipenuhi oleh nama-nama pemuda mahasiswa yang selalu gelisah atas realitas objektif masyarakatnya. Siapa tak kenal Semaoen yang pada usia 19 tahun memimpin Sarekat Islam di Semarang. Atau Tan Malaka yang ketika mahasiswa banyak mencurahkan fikirannya untuk menggagas pendidikan yang membebaskan bagi bangsanya. Tapi sayang, selama rezim Orde Baru berkuasa, nama besar mereka dihilangkan dari kamus sejarah bangsa ini karena pemerintah menggolongkan mereka sebagai ‘orang-orang di persimpangan kiri jalan’. 
Bagi yang hobby nonton film, pasti sudah berkenalan dengan Soe Hok Gie yang belakangan ini jadi artis dan digandrungi para ABG. “Gara-gara yang berperan sebagai tokoh utama dalam film Gie itu aktor gaek, Nicholas Saputra, ya pantes aja cewek-cewek pada seneng”, seloroh seorang kawan yang merasa kepopulerannya dikalahkan tokoh pemeran Gie.
Jika kita telisik lebih teliti dalam satu abad terakhir, kurang lebih 20 tahun sekali terdapat generasi-generasi pemuda mahasiswa yang menjadi motor perubahan di Indonesia. Pada 1908, ada rombongan mahasiswa yang belajar di sekolah dokter jawa (STOVIA). Mereka mendirikan Boedi Utomo dan memprakarsai gerakan Kebangkitan Nasional. Melalui perbaikan budi pekerti dan pendidikan, Boedi Utomo menjadi organisasi yang ingin merombak alam fikir masyarakat Hindia Belanda.
Duapuluh tahun kemudian (1926), dari negeri yang jauh dan terletak di tengah-tengah laut Eropa, muncul Mohammad Hatta pegiat Perhimpunan Indonesia di Belanda. Walau berdomisili jauh di seberang lautan, Hatta tak kesepian sendiri. Bersama mahasiswa-mahasiswa sejawatnya, seperti Datuk Nazir Pamoentjak, Sartono, Soenario, Iskaq, dan Samsi, mereka menghimpun kekuatan guna menyokong perjuangan kemerdekaan Nasional Indonesia.
Seperti disebutkan sejarawan Asvi Warman Adam, Perhimpunan Indonesia tercatat sebagai organisasi yang pertama kali menggagas manifesto politik, ide perlawanan terhadap kolonialisme Belanda berlandaskan asas: persatuan nasional, solidaritas, non-koopersai, dan swadaya. Dengan munculnya asas ini ke permukaan, perjuangan kemerdekaan Indonesia tiba pada dataran yang sama sekali baru.
“Saat mencetuskan asas non-kooperasi dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, Hatta dkk. di Belanda terilhami semangat yang digelorakan revolusi Perancis yaitu ‘kebebasan, persamaan dan persaudaraan’. Maka lahirlah di situ asas non-koopersi. Dengan non-kooperasi, Belanda bukan ditentang, tetapi Indonesia diposisikan berdiri sejajar dan bertarung dengan Belanda”, ujarnya.
 Manifesto politik dari negeri kincir angin tersebut kemudian menjadi inspirasi bagi kongres pemuda II (sekarang diperingati sebagai hari sumpah pemuda) pada 1928 di Jakarta. Muara dari rangakian riak-riak politik tersebut adalah hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, yang oleh Sukarno digadang-gadang sebagai “jembatan emas” menuju kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selanjutnya, di ujung Orde Lama muncul generasi 65/66 dengan Soe Hok Gie-nya yang selalu merasa “gelisah dan kesepian”. Mahasiswa dengan Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat: bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan kabinet DWIKORA, turunkan harga dan perbaiki sandang pangan) akhirnya memaksa Sukarno menanggalkan jabatan presidennya. Bahkan yang paling anyar, kepongahan Orde Baru Soeharto yang terkenal korup itu, juga diakhiri oleh gerakan mahasiswa pada 1998.
Semua tokoh lintas generasi tersebut di atas memiliki latar belakang kelas sosial yang mapan. Tetapi apa yang telah diperjuangkan Boedi Utomo melalui dunia pendidikan, Perhimpunan Indonesia di Belanda yang memupuk cikal perlawanan terhadap kolonialisme dan mahasiswa-mahasiswa generasi 65/66 maupun 1998 membuktikan bahwa, tidak semua kelas menengah pro setatus kuo. Mereka mengajari kita bagaimana pemuda mahasiswa berjibaku melawan kondisi realitas masyarakat yang mengamini ketidak adilan. Kemudian, yang pasti mereka mau berfikir di luar kebiasaan mayoritas orang dan bergerak melampaui zamannya.
Tri Darma Perguruan Tinggi
Setelah memasuki dunia kampus, kemudian beberapakali mengikuti mata kuliah, dan mendapati lingkungan pergaulan baru, lingkungan akademis, kamu pernah merenung dan bertanya gak, “kira-kira apa ya yang membedakan perguruan tinggi tempatku belajar sekarang, dengan lingkungan pendidikan yang lain?” Atau ada yang bertanya seperti ini, “apa bedanya perguruan tinggi yang sekarang aku berada di dalamnya dengan SMA, SMP, atau SD?”
Mungkin diantara mahasiswa akan menjawab, “ya jelas beda, secara gitu loh, perguruan tinggi tempatnya mahasiswa belajar. Bukan tempatnya anak SD, SMP, atau SMA.” Atau ada yang menjawab begini, “di perguruan tinggi itu yang kasih materi pelajaran ke kita namanya bapak/ibu dosen, bukan lagi bapak/ibu guru yang biasanya suka jewer kuping kalo kita gak kerjakan tugas. Kalo di kampus mah kita gak bakalan kena hukuman fisik deh. Paling-paling kalo gak ngerjain tugas, yaa, nilai kita gak keluar.” Atau, malah begini, “walah yang penting gue bisa keterima masuk di UIN (kebetulan yang komentar anak UIN), bedanya sekarang, uang jajan gue nambah dan dibeliin motor baru sama nyokap, buat kuliah. Jadi beda dong, gak kayak dulu pas SMA”.
Jawaban di atas semuanya benar. Tapi, belum spesifik dan khusus. Masih umum. Mungkin supir angkot atau abang-abang penarik ojeg yang biasa mangkal di Ciputat juga akan memberikan jawaban yang sama jika diberi pertanyaan seperti di atas. Lalu, apa dong bedanya antara kita dan mereka jika masih punya jawaban yang sama?
Sesuai dengan sub-judul di atas, bahwa kita para mahasiswa yang sudah memasuki dunia kampus, dan ingin menjadi mahasiswa yang 100%, kita punya Tri Darma Perguruan Tinggi lho. Setiap institusi perguruan tinggi di Indonesia, dia memiliki tiga pilar utama penjaga bangunan akademis, yang selanjutnya kita sebut sebagai Tri Darma Perguruan Tinggi.
“Apa saja sih isinya? Jadi penasaran…”
Pilar pertama dari Tri Darma Perguruan Tinggi adalah pendidikan dan pengajaran.  Mengingat perguruan tinggi adalah basis pengorganisasian ilmu dan teori, maka tiap-tiap penghuninya (dosen, mahasiswa, dan civitas akademik yang berada didalamnya) harus menciptakan suasana belajar yang kondusif. Dosen matang dengan konsep keilmuannya, begitu juga sebaliknya, mahasiswa siap menerima transfer ilmu dari dosen.
Hal penting yang harus diingat adalah, bahwa kita hanya akan mendapatkan 30% ilmu dalam proses belajar mengajar di kelas. “Terus 70% lainnya kita akan cari di mana dong?” tanya seorang kawan. Sisanya ya kita cari sendiri di forum-forum diskusi di luar kelas. Maka tak heran jika di kampus Ciputat banyak sekali forum-forum diskusi yang menyediakan berbagai isu untuk dibahas bersama.
Kedua, riset dan penelitian. Setelah belajar, tugas kedua untuk mahasiswa adalah melakukan riset dan penelitian. Basis-basis ilmu pengetahuan, basis-basis teori yang telah diajarkan oleh dosen diperdalam melalui proses riset ini. Agar menjadi yakin atau dalam rangka mencari kebenaran, maka penelitian perlu dilakukan.
Ketiga, mengabdi kepada masyarakat. Setelah ditempa dengan pendidikan dan penelitian, mahasiswa-mahasiswa yang pastinya sudah memiliki segudang basis ilmu dan teori, memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada masyarakat. Mengingat tidak semua orang seberuntung kita (bisa kuliah di perguruan tinggi), maka kita memiliki kewajiban sosial untuk mengabdikan ilmu kita ke masyarakat.
“Coba hitung saja, kira-kira ada berapa orang di lingkungan sekitarmu/desa yang beruntung dapat kuliah sampai ke perguruan tinggi?” kalo ada beberapa orang saja, berarti kamu juga termasuk dari salah satu orang yang beruntung itu. Karena berbagai alasan (biaya, merasa tak perlu, dilarang orang tua, dll) banyak orang yang tidak bisa menikmati pendidikan sampai kuliah. Paling tidak, dalam rangka bersyukur, kita abdikan ilmu kita kepada masyarakat agar lebih bermanfaat.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan, bahwa untuk menjadi Mahasiswa 100% banyak kriteria-kriteria yang harus kita penuhi. Generasi-generasi terdahulu  mengajarkan bagaimana mereka rela mengabdikan diri untuk kemerdekaan bangsanya. Mereka juga mencontohkan bahwa kekuasaan yang zalim dan menindas itu harus dilawan.
Tidak adil memang jika kita selalu membanding-bandingkan generasi terdahulu dengan generasi sekarang. Kita tidak dibesarkan dalam suasana desingan peluru pejuang kemerdekaan. Atau tidak pula dalam suasana heroik penggulingan kekuasaan oleh mahasiswa. Tapi, kita dibesarkan dalam suasana di mana pengguna facebook dan twitter di Indonesia semakin menggila jumlahnya. Suasana dimana Boy Band dan Girl Band tengah naik daun. Ini zaman kita bung! dan hanya kita yang tahu bagaimana harus bertindak. Bergerak, Berjuang, Bersama!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar