Ketika masa Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan
(dulu disebut OSPEK/PROPESA, kini OPAK) sedang berlangsung di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, sederet panitia yang sedang ngaso di taman, saya tanyai
tentang pengertian mahasiswa malah bingung sambil menjawab ragu, “mahasiswa itu
ya seperti kita ini bang, datang ke kampus terus belajar sama dosen”. Pemudi
yang saya tanyai ini memilih bidang studi komunikasi jurusan jurnalistik
semester III dan tak merasa perlu berburu pemahaman makna mahasiswa. Mereka tak
pernah ikut diskusi politik dan enggan baca buku Sarwono, Soekarno atau diktat
Undang-Undang Dasar tentang konsep dan tugas mahasiswa yang disampaikan tokoh-tokoh
di atas. Salah satu teman di sampingnya malah ikutan nyeletuk, mengklarifikasi,
“emang situ bukan mahasiswa, ko masih nanya juga?”.
Memang, makna kata
mahasiswa sering membuat kita bingung. Pasalnya, semakin hari, kata mahasiswa
direduksi sebatas makna lahiriyah (yang tampak) saja—“orang yang datang ke
kampus dan belajar dengan dosen”, misalnya. Sementara tugas dan fungsi
mahasiswa, malah dilupakan. Padahal rentang sejarah merekam, bahwa mahasiswa
selalu berada pada posisi vital saat terjadi peristiwa-peristiwa besar di
negeri ini. Meski berangkat dari hasil diskusi dengan beberapa teman, paparan
ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan wacana pribadi dan bagi siapa saja yang
berkenan membaca.
Beberapa Istilah
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai
Pustaka, Jakarta, tahun 1980 tertulis arti kata mahasiswa, “orang yang belajar
di perguruan tinggi”. Setelah beberapa kali membolak-balik lembaran KKBI yang
tebal itu, ternyata saya tidak mendapatkan penjelasan yang lebih konprehensif mengenai
kata mahasiswa didalamnya.
Pengertian selanjutnya, seperti tertulis pada Peraturan
Pemerintah (PP) No. 30 tahun 1990, Pemerintah Republik Indonesia (RI)
mendefinisikan mahasiswa sebagai peserta didik yang terdaftar dan belajar di
perguruan tinggi tertentu. Sementara itu, Undang-Undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Bab VI Pasal 19 menyebutkan
bahwa, mahasiswa sebenarnya hanya sebutan akademis bagi siswa/murid yang telah
sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya.
Sarwono (1978) mendefinisikan mahasiswa sebagai tiap orang
yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi
dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Secara sosial, mahasiswa merupakan suatu
kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena memiliki ikatan
dengan perguruan tinggi. Mahaiswa juga identik sebagai calon intelektual atau
cendikiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang syarat dengan berbagai
predikat.
Knopfemacher seperti dikutip Suwono juga menyebutkan hal
yang mirip dengan apa yang telah disebutkan Sarwono, mahasiswa merupakan
insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi,
dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual (Suwono, 1978).
Secara umum, berbagai pendapat di atas menyebutkan beberapa
garis besar pengertian mahasiswa. Pertama,
mahasiswa adalah seseorang yang secara umur digolongkan sebagai pemuda, yaitu
antara 18-30 tahun. Kedua, seorang
mahasiswa sebagai calon intelektual, memiliki kadar keilmuan tinggi, dan ketiga, karena ikatannya dengan
perguruan tinggi, maka otomatis status sosialnya menjadi lebih tinggi daripada
yang bukan mahasiswa. Karena status sosial yang lebih tinggi dan berada di
level tengah dalam bangun hirarki kelas sosial masyarakat, meminjam istilah Sukarno,
mahasiswa biasa disebut “borjuis kecil”.
Tinjauan Sejarah
Sebagai mahluk sosial, kita tidak boleh
melupakan sejarah. Kita dapat belajar tentang kebaikan dan keburukan dari
kisah-kisah terdahulu. Maka, Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah,
kata Sukarno.
Sejarah mahasiswa di Indonesia adalah
sejarah pergulatan dan pergerakan. Kisah-kisah
heroik perlawanan selalu dipenuhi oleh nama-nama pemuda mahasiswa yang selalu
gelisah atas realitas objektif masyarakatnya. Siapa tak kenal Semaoen yang pada
usia 19 tahun memimpin Sarekat Islam di Semarang. Atau Tan Malaka yang ketika
mahasiswa banyak mencurahkan fikirannya untuk menggagas pendidikan yang
membebaskan bagi bangsanya. Tapi sayang, selama rezim Orde Baru berkuasa, nama
besar mereka dihilangkan dari kamus sejarah bangsa ini karena pemerintah
menggolongkan mereka sebagai ‘orang-orang di persimpangan kiri jalan’.
Bagi yang hobby nonton film, pasti
sudah berkenalan dengan Soe Hok Gie yang belakangan ini jadi artis dan digandrungi
para ABG. “Gara-gara yang berperan sebagai tokoh utama dalam film Gie itu aktor
gaek, Nicholas Saputra, ya pantes aja cewek-cewek pada seneng”, seloroh seorang
kawan yang merasa kepopulerannya dikalahkan tokoh pemeran Gie.
Jika kita telisik lebih teliti dalam
satu abad terakhir, kurang lebih 20 tahun sekali terdapat generasi-generasi
pemuda mahasiswa yang menjadi motor perubahan di Indonesia. Pada 1908, ada rombongan
mahasiswa yang belajar di sekolah dokter jawa (STOVIA). Mereka mendirikan Boedi
Utomo dan memprakarsai gerakan Kebangkitan Nasional. Melalui perbaikan budi
pekerti dan pendidikan, Boedi Utomo menjadi organisasi yang ingin merombak alam
fikir masyarakat Hindia Belanda.
Duapuluh tahun kemudian (1926), dari negeri yang jauh dan
terletak di tengah-tengah laut Eropa, muncul Mohammad Hatta pegiat Perhimpunan
Indonesia di Belanda. Walau berdomisili jauh di seberang lautan, Hatta tak
kesepian sendiri. Bersama mahasiswa-mahasiswa sejawatnya, seperti Datuk Nazir
Pamoentjak, Sartono, Soenario, Iskaq, dan Samsi, mereka menghimpun kekuatan
guna menyokong perjuangan kemerdekaan Nasional Indonesia.
Seperti disebutkan sejarawan Asvi Warman Adam, Perhimpunan
Indonesia tercatat sebagai organisasi yang pertama kali menggagas manifesto
politik, ide perlawanan terhadap kolonialisme Belanda berlandaskan asas:
persatuan nasional, solidaritas, non-koopersai, dan swadaya. Dengan munculnya
asas ini ke permukaan, perjuangan kemerdekaan Indonesia tiba pada dataran yang
sama sekali baru.
“Saat mencetuskan asas non-kooperasi dalam perjuangan
melawan kolonialisme Belanda, Hatta dkk. di Belanda terilhami semangat yang
digelorakan revolusi Perancis yaitu ‘kebebasan, persamaan dan persaudaraan’. Maka
lahirlah di situ asas non-koopersi. Dengan non-kooperasi, Belanda bukan
ditentang, tetapi Indonesia diposisikan berdiri sejajar dan bertarung dengan
Belanda”, ujarnya.
Manifesto politik
dari negeri kincir angin tersebut kemudian menjadi inspirasi bagi kongres pemuda
II (sekarang diperingati sebagai hari sumpah pemuda) pada 1928 di Jakarta.
Muara dari rangakian riak-riak politik tersebut adalah hari kemerdekaan RI 17 Agustus
1945, yang oleh Sukarno digadang-gadang sebagai “jembatan emas” menuju
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selanjutnya, di ujung Orde Lama muncul
generasi 65/66 dengan Soe Hok Gie-nya yang selalu merasa “gelisah dan kesepian”.
Mahasiswa dengan Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat: bubarkan PKI beserta
ormas-ormasnya, perombakan kabinet DWIKORA, turunkan harga dan perbaiki sandang
pangan) akhirnya memaksa Sukarno menanggalkan jabatan presidennya. Bahkan yang
paling anyar, kepongahan Orde Baru Soeharto yang terkenal korup itu, juga diakhiri
oleh gerakan mahasiswa pada 1998.
Semua tokoh lintas generasi tersebut di
atas memiliki latar belakang kelas sosial yang mapan. Tetapi apa yang telah
diperjuangkan Boedi Utomo melalui dunia pendidikan, Perhimpunan Indonesia di
Belanda yang memupuk cikal perlawanan terhadap kolonialisme dan
mahasiswa-mahasiswa generasi 65/66 maupun 1998 membuktikan bahwa, tidak semua
kelas menengah pro setatus kuo. Mereka mengajari kita bagaimana pemuda
mahasiswa berjibaku melawan kondisi realitas masyarakat yang mengamini ketidak
adilan. Kemudian, yang pasti mereka mau berfikir di luar kebiasaan mayoritas
orang dan bergerak melampaui zamannya.
Tri Darma Perguruan Tinggi
Setelah memasuki dunia kampus, kemudian
beberapakali mengikuti mata kuliah, dan mendapati lingkungan pergaulan baru,
lingkungan akademis, kamu pernah merenung dan bertanya gak, “kira-kira apa ya
yang membedakan perguruan tinggi tempatku belajar sekarang, dengan lingkungan
pendidikan yang lain?” Atau ada yang bertanya seperti ini, “apa bedanya
perguruan tinggi yang sekarang aku berada di dalamnya dengan SMA, SMP, atau
SD?”
Mungkin diantara mahasiswa akan
menjawab, “ya jelas beda, secara gitu loh, perguruan tinggi tempatnya mahasiswa
belajar. Bukan tempatnya anak SD, SMP, atau SMA.” Atau ada yang menjawab
begini, “di perguruan tinggi itu yang kasih materi pelajaran ke kita namanya
bapak/ibu dosen, bukan lagi bapak/ibu guru yang biasanya suka jewer kuping kalo
kita gak kerjakan tugas. Kalo di kampus mah kita gak bakalan kena hukuman fisik
deh. Paling-paling kalo gak ngerjain tugas, yaa, nilai kita gak keluar.” Atau,
malah begini, “walah yang penting gue bisa keterima masuk di UIN (kebetulan
yang komentar anak UIN), bedanya sekarang, uang jajan gue nambah dan dibeliin
motor baru sama nyokap, buat kuliah. Jadi beda dong, gak kayak dulu pas SMA”.
Jawaban di atas semuanya benar. Tapi,
belum spesifik dan khusus. Masih umum. Mungkin supir angkot atau abang-abang
penarik ojeg yang biasa mangkal di Ciputat juga akan memberikan jawaban yang
sama jika diberi pertanyaan seperti di atas. Lalu, apa dong bedanya antara kita
dan mereka jika masih punya jawaban yang sama?
Sesuai dengan sub-judul di atas, bahwa
kita para mahasiswa yang sudah memasuki dunia kampus, dan ingin menjadi
mahasiswa yang 100%, kita punya Tri Darma Perguruan Tinggi lho. Setiap institusi perguruan tinggi di Indonesia, dia memiliki
tiga pilar utama penjaga bangunan akademis, yang selanjutnya kita sebut sebagai
Tri Darma Perguruan Tinggi.
“Apa saja sih isinya? Jadi penasaran…”
Pilar pertama dari Tri Darma Perguruan Tinggi adalah pendidikan dan
pengajaran. Mengingat perguruan tinggi
adalah basis pengorganisasian ilmu dan teori, maka tiap-tiap penghuninya
(dosen, mahasiswa, dan civitas akademik yang berada didalamnya) harus
menciptakan suasana belajar yang kondusif. Dosen matang dengan konsep
keilmuannya, begitu juga sebaliknya, mahasiswa siap menerima transfer ilmu dari
dosen.
Hal penting yang harus diingat adalah,
bahwa kita hanya akan mendapatkan 30% ilmu dalam proses belajar mengajar di
kelas. “Terus 70% lainnya kita akan cari di mana dong?” tanya seorang kawan.
Sisanya ya kita cari sendiri di forum-forum diskusi di luar kelas. Maka tak
heran jika di kampus Ciputat banyak sekali forum-forum diskusi yang menyediakan
berbagai isu untuk dibahas bersama.
Kedua, riset dan penelitian. Setelah belajar, tugas kedua untuk
mahasiswa adalah melakukan riset dan penelitian. Basis-basis ilmu pengetahuan,
basis-basis teori yang telah diajarkan oleh dosen diperdalam melalui proses
riset ini. Agar menjadi yakin atau dalam rangka mencari kebenaran, maka
penelitian perlu dilakukan.
Ketiga, mengabdi kepada masyarakat. Setelah
ditempa dengan pendidikan dan penelitian, mahasiswa-mahasiswa yang pastinya
sudah memiliki segudang basis ilmu dan teori, memiliki kewajiban untuk mengabdi
kepada masyarakat. Mengingat tidak semua orang seberuntung kita (bisa kuliah di
perguruan tinggi), maka kita memiliki kewajiban sosial untuk mengabdikan ilmu
kita ke masyarakat.
“Coba hitung saja, kira-kira ada berapa
orang di lingkungan sekitarmu/desa yang beruntung dapat kuliah sampai ke
perguruan tinggi?” kalo ada beberapa orang saja, berarti kamu juga termasuk
dari salah satu orang yang beruntung itu. Karena berbagai alasan (biaya, merasa
tak perlu, dilarang orang tua, dll) banyak orang yang tidak bisa menikmati
pendidikan sampai kuliah. Paling tidak, dalam rangka bersyukur, kita abdikan
ilmu kita kepada masyarakat agar lebih bermanfaat.
Dari uraian di atas dapat kita
simpulkan, bahwa untuk menjadi Mahasiswa 100% banyak kriteria-kriteria yang
harus kita penuhi. Generasi-generasi terdahulu
mengajarkan bagaimana mereka rela mengabdikan diri untuk kemerdekaan
bangsanya. Mereka juga mencontohkan bahwa kekuasaan yang zalim dan menindas itu
harus dilawan.
Tidak adil memang jika kita selalu
membanding-bandingkan generasi terdahulu dengan generasi sekarang. Kita tidak
dibesarkan dalam suasana desingan peluru pejuang kemerdekaan. Atau tidak pula
dalam suasana heroik penggulingan kekuasaan oleh mahasiswa. Tapi, kita dibesarkan
dalam suasana di mana pengguna facebook
dan twitter di Indonesia semakin
menggila jumlahnya. Suasana dimana Boy Band dan Girl Band tengah naik daun. Ini zaman kita bung! dan hanya kita yang tahu bagaimana harus
bertindak. Bergerak, Berjuang, Bersama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar