Tak terasa Maret datang lagi. Tepat satu tahun lalu, rakyat Indonesia dihebohkan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan haraga Bahan Bakar Minyak (BBM). Semuanya kalut, galau, dan merasa terancam karena kemiskinan menghantui.
"BBM naik = kebutuhan pokok juga naik," teriak masyarakat, protes.
Hari-hari sepanjang Maret 2012 dipenuhi agenda demo-demo mahasiswa di jalan. Diskusi-diskusi dengan tema seputar kenaikan harga BBM dan dampaknya bagi masyarakat diselenggarakan di ruang-ruang publik. Setiap orang, tiba-tiba antusias membincangkan tema-tema ekonomi politik yang melatarbelakangi kebijakan yang akan diambil pemerintah ini.
Agenda yang padat pada Maret itu, membuatku tak bisa berlama-lama berada di depan layar komputer. Semua aktifitas berpindah di jalanan. Maka, sebagai gantinya, berikut sedikit catatan kritis seputar kebijakan yang menjadi biang kerok kenaikan harga BBM.
***
“BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang
pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi...”
(Iwan Fals)
Rencana pemerintah untuk menaikkan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada awal April 2012, tengah menuai kecaman dari
berbagai elemen masyarakat. Tukang ojeg, buruh, petani, nelayan, dan mahasiswa
turun ke jalan. Beberapa minggu ini, sebagai menu utama, kolom-kolom media
massa selalu menyajikan headline
protes masyarakat menolak rencana kenaikan harga BBM.
Isu kenaikan harga BBM (baca:
pencabutan subsidi) bukan isu baru di
negeri ini. Setiap periode pemerintahan yang tidak pro rakyat, selalu
menerapkan kebijakan pencabutan subsidi BBM sebagai jalan pintas menuju
liberalisasi sektor migas di Indonesia.