"BBM naik = kebutuhan pokok juga naik," teriak masyarakat, protes.
Hari-hari sepanjang Maret 2012 dipenuhi agenda demo-demo mahasiswa di jalan. Diskusi-diskusi dengan tema seputar kenaikan harga BBM dan dampaknya bagi masyarakat diselenggarakan di ruang-ruang publik. Setiap orang, tiba-tiba antusias membincangkan tema-tema ekonomi politik yang melatarbelakangi kebijakan yang akan diambil pemerintah ini.
Agenda yang padat pada Maret itu, membuatku tak bisa berlama-lama berada di depan layar komputer. Semua aktifitas berpindah di jalanan. Maka, sebagai gantinya, berikut sedikit catatan kritis seputar kebijakan yang menjadi biang kerok kenaikan harga BBM.
***
“BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang
pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi...”
(Iwan Fals)
Rencana pemerintah untuk menaikkan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada awal April 2012, tengah menuai kecaman dari
berbagai elemen masyarakat. Tukang ojeg, buruh, petani, nelayan, dan mahasiswa
turun ke jalan. Beberapa minggu ini, sebagai menu utama, kolom-kolom media
massa selalu menyajikan headline
protes masyarakat menolak rencana kenaikan harga BBM.
Isu kenaikan harga BBM (baca:
pencabutan subsidi) bukan isu baru di
negeri ini. Setiap periode pemerintahan yang tidak pro rakyat, selalu
menerapkan kebijakan pencabutan subsidi BBM sebagai jalan pintas menuju
liberalisasi sektor migas di Indonesia.
Melalui lagu “Galang Rambu Anarki”,
Iwan Fals merekam isu pencabutan subsidi BBM dengan apik. Lagu yang dirilis
pada 1982 ini adalah hadiah untuk anak pertamanya (Galang alm.) yang lahir
tepat menjelang kenaikan harga BBM pada saat dinasti Soeharto tengah berjaya.
Lewat liriknya, Iwan bercerita,
bagaimana tarif dasar listrik (TDL), harga beras, minyak goreng, susu, dan
kebutuhan pokok lainnya akan melonjak tinggi sebagai buntut dari kenaikan harga
BBM. Kebutuhan gizi rakyat kecil tak terpenuhi “gara-gara orang pintar tarik
subsidi,” tutur Iwan.
Lantas, timbul banyak pertanyaan
dalam benak kita. Pertama, kenapa
pencabutan subsidi BBM harus terjadi? Kedua,
bagaimana trek record rezim SBY
dalam mencabut subsidi BBM? Ketiga, apa
sih payung hukum/UU yang menjadi
dasar kebijakan ini? Dan, apa langkah kongkrit yang harus dilakukan masyarakt
dan (khususnya) pemerintah untuk mengatasi masalah ini?
Pencabutan
Subsidi BBM, sudah tradisi…
Jika coba menghitung, ± sudah 30 tahun, lagu
“Galang Rambu Anarki” bercerita kepada pendengarnya, bagaimana elit politik
terus-menerus melakukan pencabutan subsidi. Dan cerita dari lagu itu masih
sangat relevan sampai hari ini.
Kisah itu dimulai pada medio 2005
hingga 2008. Menurut Revrison Baswir, pada tahun 2005 dan 2008, pemerintahan
SBY-JK (Jilid I) menaikkan harga BBM hingga 87% dari harga sebelumnya. Sebagai
imbasnya, angka kemiskinan di Indonesia perlahan merangkak naik. Kebijakan ini
diambil dengan alasan melambungnya harga minyak mentah dunia di pasar
internasional. Sehingga, beban subsidi BBM akan memeberatkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai buntut dari belum pulihnya kondisi
ekonomi nasional.
Sebagai obat penawar rasa pahit
akibat kenaikan harga BBM, lantas, rakyat ‘disogok’ dengan pemberian dana
kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk Bantuan Lansung Tunai (BLT) dan Program
Nasional Pembangunan Mandiri (PNPM). Masing-masing proyek tersebut bernilai Rp.
19,7 T pada 2008 dan Rp. 58 T pada 2009.
Sudah jatuh, ketimpa tangga pula!
Usut punya usut, dana yang dikucurkan pemerintah untuk program BLT dan PNPM itu,
ternyata adalah hasil ngutang dari
World Bank. Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) adalah yang
pertama kali menentang program tersebut (Debt Trap: The Jakarta Post, 16 Juni
2009).
Alasan mereka tegas, BLT dan PNPM
yang dananya diperoleh dari World Bank, akan menambah jumlah utang baru. Hal
ini akan berbuntut pada membengkaknya beban pembayaran cicilan pokok dan bunga
utang dalam APBN. Dan secara otomatis,
akan memotong pos anggaran subsidi di sektor lain (pendidikan, kesehatan, dll).
Generasi mendatang akan menjadi korban, karena harus menanggung utang negara
yang angkanya terus membesar.
Apakah benar, jika pemerintah
berdalih, subsidi BBM harus dicabut karena akan menjebol APBN? Mari kita
buktikan.
Dr. Kurtubi, seorang pakar
perminyakan Indonesia, dalam diskusi yang diorganisir Asosiasi ekonomi Politik
Indonesia (AEPI) di Jakarta pada Februari lalu menyatakan, “realisasi subsidi
BBM dalam APBN 2011 memang cukup besar, angkanya mencapai Rp. 165 T,”
terangnya.
Jika kita bandingkan angka tersebut
dengan postur pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN 2011 yang
mencapai Rp. 254 T, mana yang lebih besar? Angka ini akan lebih mencolok jika kita
bandingkan dengan postur belanja pemerintah (subsidi) di sektor lain, seperti
pendidikan, kesehatan, dll. (APBN Tersandera Utang: Kompas, Agustus 2012).
Jadi, meskipun subsidi BBM dicabut
dengan alasan penghematan, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tetap akan menjadi
prioritas pemerintah. Rakyatlah yang
harus menanggung akibatnya.
UU No. 22/2001
tentag Migas
Krisis ekonomi yang menghantam seluruh Asia,
termasuk Indonesia, memaksa pemerintahan Soeharto tunduk di bawah ketiak modal asing. Maksud Soeharto yang ingin
mengeluarkan Indonesia dari pusaran krisis dengan resep International Monitary
Fund (IMF), malah menjerumuskan bangsa ini ke dalam lubang penjajahan baru
berjubah utang luar negeri.
Melalui Nota Kesepahaman (Letters of Intent/LoI) yang didiktekan
IMF kepada pemerintah pada 1998, seluruh sumber daya alam Indonesia, resmi
dikuasai asing. LoI yang telah disepakati itu mensyaratkan tiga hal. Pemerintah
Indonesia harus melakukan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi di seluruh
sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Untuk melakukan percepatan
liberalisasi di sektor migas, Menteri Pertambangan Kuntoro di era Habibie
mengajukan RUU Migas ke DPR. Namun, DPR menolak mentah-mentah RUU ini.
Usaha ke arah liberalisasi total
sektor migas tidak berhenti begitu saja. Di era Gus Dur, RUU Migas jilid II
kembali diajukan ke DPR oleh Menteri Pertambangan Susilo Bambang Yudhoyono
(pada waktu itu SBY masih menjadi Menteri Pertambangan). Hasilnya, pada 23
Oktober 2001 lahirlah UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Kenyataan, bahwa beberapa pasal
dalam UU No. 22/2001 tentang Migas ini sudah pernah digugat di Mahkamah
Konstitusi dan (dikabulkan) diputus dengan Nomor Perkara: 002/PUU-I/2003.
Namun, paska putusan tersebut, bebera pasal yang telah diuji materialkan
cenderung dilanggar dan digunaka sebagai asas pengambil kebijakan.
Apa sebenarnya agenda di balik lahirnya UU No.
22/2001 tentag Migas?
Menurut Revrison Baswir, dalam UU
Migas terdapat agenda besar untuk meliberalisasi sektor migas. Praktik-praktik
itu meliputi, pertama, berakhirnya
Pertamina sebagai pemegang kuasa migas dan digantikan oleh Badan Pelaksana
Migas dan Badan Pengatur Hilir Migas. Kedua,
berakhirnya monopoli Pertamina sebagai BUMN penyelenggara sektor hilir
migas. Pertamina sendiri akan dipecah menjadi beberapa perusahaan dengan badan
hukum sendiri. Ketiga, dihapuskannya
subsidi BBM dan melempar harga BBM berdasarkan mekanisme pasar. Keempat, dibukanya keran masuk bagi
swasta asing maupun domestik untuk berbisnis di sektor migas.
Terkait dengan poin pertama dan
kedua, perubahan
konstitusional status Pertamina dari BUMN menjadi P.T. Persero, akan membuka
peluang bagi Pertamina untuk diprivatisasi. Akibatnya, negara tidak punya lagi
alat untuk menguasai sumber daya alam migasnya dan menguasai cabang produksi
penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Undang-undang
Migas telah merusak tatanan Industri LNG nasional yang selama ini telah
berhasil dikembangkan dengan menciptakan sistem persaingan yang justru akan
merugikan Indonesia sebagai negara produsen
Maka tidak usah heran, jika saat
ini kita dapat menyaksikan di Ciputat, Lebak Bulus, Fatmawati, dan di berbagai
kota besar di Indonesia, telah berdiri SPBU berbendera asing. Kita hanya tercengang,
menjadi saksi mata bagaimana Pertamina semakin terhimpit oleh Exxon, Shell,
Total, dan Petronas yang sedang rajin membuka depo pengisian bahan bakar.
Dapat kita bayangkan, bagaimana dahulu
Shell masuk ke Hindia Belanda sejak 1800-an dalam rangka merampok minyak bumi.
Hari ini, mereka legal membuka SPBU di manapun mereka mau. Sektor hulu hingga
hilir telah mereka kuasai. Liberalisasi bukan hanya akan menambah beban hidup
rakyat. Tetapi juga akan mengancam perekonomian nasional!
Jika kita berkaca kembali pada UUD
1945, liberalisasi migas ini jelas bertentangan dengan pasal 33 ayat 2 dan 3
yang menyatakan, “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang bayak dikuasai oleh
negara”. Selanjutnya, “Bumi, air dan
segala yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana
logika yang dipakai pemerintah untuk tetap teguh menerapkan kebijakan yang
bertentangan dengan konstitusi itu? Padahal, beberapa pasal inkonstitusional
dari UU Migas telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ada beberapa jalan yang dapat
diambil pemerintah untuk membatalkan pencabutan subsidi BBM. Pertama, pemerintah harus segera
mencabut UU Migas yang jelas bertentangan dengan konstitusi. Kedua, dalam pengelolaan SDA, pemerintah
harus kembali pada semangat ekonomi kerakyatan yang termaktub dalam UUD 1945
pasal 33. Ketiga, sebagai langkah
untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak, pemerintah harus mulai mengoptimalkan potensi
gas alam.
Selain kaya akan minyak, Indonesia
juga kaya potensi gas. Daripada diobral ke China dan Jepang dengan harga murah,
ke depan, pemanfaatan gas harus diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri.
Sekali lagi, rakyat sudah bosan
dimiskinkan. Sekali lagi, rakyat tidak mau anak-anaknya senasib dengan ‘Galang
Rambu Anarki’ yang tangisan pertamanya ditandai dengan harga BBM membubung
tinggi.
BBM pernah turun nggak sih cak?
BalasHapusDari sepenggal artikel terkait yang berhasil kutemukan, BBM pernah turun harga 3x (pas jaman SBY) Ken. Tepatnya pada medio 1 Desember 2008 - 15 Januari 2009. Kalo kamu ingat, itu adalah tahun-tahun politik sebelum pemilu 2009. Padahal, ribut-ribut kenaikan BBM ini terjadi sekitar Mei 2008.
BalasHapusMemang turunnya lumayan bersar sih, mencapai 25% untuk premium (dari Rp.6000 menjadi Rp.4500) dan 18,2% untuk solar (dari Rp.5.500 menjadi Rp.4.500).
Yang paling parah terkena dampak masyarakat yang di desa-desa. Karena meski BBM turun, bahan2 pokok dan tarif transportasi tetap saja naik. Pengambil kebijakan di sana lebih lamban melakukan penyesuaian daripada yang di kota-kota besar.
Kalau suatu hari kau naik di tataran legislatif, aku dukung Cak! Dan tentu saja selalu siap "menjitakmu" kalau kau salah :))
BalasHapus