Jumat, 01 Maret 2013

Galang Rambu Anarki dan Kenaikan Harga BBM

Tak terasa Maret datang lagi. Tepat satu tahun lalu, rakyat Indonesia dihebohkan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan haraga Bahan Bakar Minyak (BBM). Semuanya kalut, galau, dan merasa terancam karena kemiskinan menghantui.

"BBM naik = kebutuhan pokok juga naik," teriak masyarakat, protes.

Hari-hari sepanjang Maret 2012 dipenuhi agenda demo-demo mahasiswa di jalan. Diskusi-diskusi dengan tema seputar kenaikan harga BBM dan dampaknya bagi masyarakat diselenggarakan di ruang-ruang publik. Setiap orang, tiba-tiba antusias membincangkan tema-tema ekonomi politik yang melatarbelakangi kebijakan yang akan diambil pemerintah ini.

Agenda yang padat pada Maret itu, membuatku tak bisa berlama-lama berada di depan layar komputer. Semua aktifitas berpindah di jalanan. Maka, sebagai gantinya, berikut sedikit catatan kritis seputar kebijakan yang menjadi biang kerok kenaikan harga BBM.
***


“BBM naik tinggi, susu tak terbeli
Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi...”
(Iwan Fals)
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada awal April 2012, tengah menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat. Tukang ojeg, buruh, petani, nelayan, dan mahasiswa turun ke jalan. Beberapa minggu ini, sebagai menu utama, kolom-kolom media massa selalu menyajikan headline protes masyarakat menolak rencana kenaikan harga BBM.
Isu kenaikan harga BBM (baca: pencabutan subsidi)  bukan isu baru di negeri ini. Setiap periode pemerintahan yang tidak pro rakyat, selalu menerapkan kebijakan pencabutan subsidi BBM sebagai jalan pintas menuju liberalisasi sektor migas di Indonesia.
Melalui lagu “Galang Rambu Anarki”, Iwan Fals merekam isu pencabutan subsidi BBM dengan apik. Lagu yang dirilis pada 1982 ini adalah hadiah untuk anak pertamanya (Galang alm.) yang lahir tepat menjelang kenaikan harga BBM pada saat dinasti Soeharto tengah berjaya.
Lewat liriknya, Iwan bercerita, bagaimana tarif dasar listrik (TDL), harga beras, minyak goreng, susu, dan kebutuhan pokok lainnya akan melonjak tinggi sebagai buntut dari kenaikan harga BBM. Kebutuhan gizi rakyat kecil tak terpenuhi “gara-gara orang pintar tarik subsidi,” tutur Iwan.
Lantas, timbul banyak pertanyaan dalam benak kita. Pertama, kenapa pencabutan subsidi BBM harus terjadi? Kedua, bagaimana trek record rezim SBY dalam mencabut subsidi BBM? Ketiga, apa sih payung hukum/UU yang menjadi dasar kebijakan ini? Dan, apa langkah kongkrit yang harus dilakukan masyarakt dan (khususnya) pemerintah untuk mengatasi masalah ini?
Pencabutan Subsidi BBM, sudah tradisi…
Jika coba menghitung, ± sudah 30 tahun, lagu “Galang Rambu Anarki” bercerita kepada pendengarnya, bagaimana elit politik terus-menerus melakukan pencabutan subsidi. Dan cerita dari lagu itu masih sangat relevan sampai hari ini.
Kisah itu dimulai pada medio 2005 hingga 2008. Menurut Revrison Baswir, pada tahun 2005 dan 2008, pemerintahan SBY-JK (Jilid I) menaikkan harga BBM hingga 87% dari harga sebelumnya. Sebagai imbasnya, angka kemiskinan di Indonesia perlahan merangkak naik. Kebijakan ini diambil dengan alasan melambungnya harga minyak mentah dunia di pasar internasional. Sehingga, beban subsidi BBM akan memeberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai buntut dari belum pulihnya kondisi ekonomi nasional.
Sebagai obat penawar rasa pahit akibat kenaikan harga BBM, lantas, rakyat ‘disogok’ dengan pemberian dana kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk Bantuan Lansung Tunai (BLT) dan Program Nasional Pembangunan Mandiri (PNPM). Masing-masing proyek tersebut bernilai Rp. 19,7 T pada 2008 dan Rp. 58 T pada 2009.
Sudah jatuh, ketimpa tangga pula! Usut punya usut, dana yang dikucurkan pemerintah untuk program BLT dan PNPM itu, ternyata adalah hasil ngutang dari World Bank. Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI) adalah yang pertama kali menentang program tersebut (Debt Trap: The Jakarta Post, 16 Juni 2009).
Alasan mereka tegas, BLT dan PNPM yang dananya diperoleh dari World Bank, akan menambah jumlah utang baru. Hal ini akan berbuntut pada membengkaknya beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN.  Dan secara otomatis, akan memotong pos anggaran subsidi di sektor lain (pendidikan, kesehatan, dll). Generasi mendatang akan menjadi korban, karena harus menanggung utang negara yang angkanya terus membesar.
Apakah benar, jika pemerintah berdalih, subsidi BBM harus dicabut karena akan menjebol APBN? Mari kita buktikan.
Dr. Kurtubi, seorang pakar perminyakan Indonesia, dalam diskusi yang diorganisir Asosiasi ekonomi Politik Indonesia (AEPI) di Jakarta pada Februari lalu menyatakan, “realisasi subsidi BBM dalam APBN 2011 memang cukup besar, angkanya mencapai Rp. 165 T,” terangnya.
Jika kita bandingkan angka tersebut dengan postur pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN 2011 yang mencapai Rp. 254 T, mana yang lebih besar? Angka ini akan lebih mencolok jika kita bandingkan dengan postur belanja pemerintah (subsidi) di sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, dll. (APBN Tersandera Utang: Kompas, Agustus 2012).
Jadi, meskipun subsidi BBM dicabut dengan alasan penghematan, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tetap akan menjadi prioritas pemerintah. Rakyatlah  yang harus menanggung akibatnya.
UU No. 22/2001 tentag Migas
Krisis ekonomi yang menghantam seluruh Asia, termasuk Indonesia, memaksa pemerintahan Soeharto tunduk di bawah ketiak modal asing. Maksud Soeharto yang ingin mengeluarkan Indonesia dari pusaran krisis dengan resep International Monitary Fund (IMF), malah menjerumuskan bangsa ini ke dalam lubang penjajahan baru berjubah utang luar negeri.
Melalui Nota Kesepahaman (Letters of Intent/LoI) yang didiktekan IMF kepada pemerintah pada 1998, seluruh sumber daya alam Indonesia, resmi dikuasai asing. LoI yang telah disepakati itu mensyaratkan tiga hal. Pemerintah Indonesia harus melakukan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi di seluruh sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Untuk melakukan percepatan liberalisasi di sektor migas, Menteri Pertambangan Kuntoro di era Habibie mengajukan RUU Migas ke DPR. Namun, DPR menolak mentah-mentah RUU ini.
Usaha ke arah liberalisasi total sektor migas tidak berhenti begitu saja. Di era Gus Dur, RUU Migas jilid II kembali diajukan ke DPR oleh Menteri Pertambangan Susilo Bambang Yudhoyono (pada waktu itu SBY masih menjadi Menteri Pertambangan). Hasilnya, pada 23 Oktober 2001 lahirlah UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Kenyataan, bahwa beberapa pasal dalam UU No. 22/2001 tentang Migas ini sudah pernah digugat di Mahkamah Konstitusi dan (dikabulkan) diputus dengan Nomor Perkara: 002/PUU-I/2003. Namun, paska putusan tersebut, bebera pasal yang telah diuji materialkan cenderung dilanggar dan digunaka sebagai asas pengambil kebijakan.
Apa sebenarnya agenda di balik lahirnya UU No. 22/2001 tentag Migas?
Menurut Revrison Baswir, dalam UU Migas terdapat agenda besar untuk meliberalisasi sektor migas. Praktik-praktik itu meliputi, pertama, berakhirnya Pertamina sebagai pemegang kuasa migas dan digantikan oleh Badan Pelaksana Migas dan Badan Pengatur Hilir Migas. Kedua, berakhirnya monopoli Pertamina sebagai BUMN penyelenggara sektor hilir migas. Pertamina sendiri akan dipecah menjadi beberapa perusahaan dengan badan hukum sendiri. Ketiga, dihapuskannya subsidi BBM dan melempar harga BBM berdasarkan mekanisme pasar. Keempat, dibukanya keran masuk bagi swasta asing maupun domestik untuk berbisnis di sektor migas.
Terkait dengan poin pertama dan kedua, perubahan konstitusional status Pertamina dari BUMN menjadi P.T. Persero, akan membuka peluang bagi Pertamina untuk diprivatisasi. Akibatnya, negara tidak punya lagi alat untuk menguasai sumber daya alam migasnya dan menguasai cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Undang-undang Migas telah merusak tatanan Industri LNG nasional yang selama ini telah berhasil dikembangkan dengan menciptakan sistem persaingan yang justru akan merugikan Indonesia sebagai negara produsen
Maka tidak usah heran, jika saat ini kita dapat menyaksikan di Ciputat, Lebak Bulus, Fatmawati, dan di berbagai kota besar di Indonesia, telah berdiri SPBU berbendera asing. Kita hanya tercengang, menjadi saksi mata bagaimana Pertamina semakin terhimpit oleh Exxon, Shell, Total, dan Petronas yang sedang rajin membuka depo pengisian bahan bakar.
Dapat kita bayangkan, bagaimana dahulu Shell masuk ke Hindia Belanda sejak 1800-an dalam rangka merampok minyak bumi. Hari ini, mereka legal membuka SPBU di manapun mereka mau. Sektor hulu hingga hilir telah mereka kuasai. Liberalisasi bukan hanya akan menambah beban hidup rakyat. Tetapi juga akan mengancam perekonomian nasional!
Jika kita berkaca kembali pada UUD 1945, liberalisasi migas ini jelas bertentangan dengan pasal 33 ayat 2 dan 3 yang menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang bayak dikuasai oleh negara”. Selanjutnya, “Bumi, air dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana logika yang dipakai pemerintah untuk tetap teguh menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi itu? Padahal, beberapa pasal inkonstitusional dari UU Migas telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ada beberapa jalan yang dapat diambil pemerintah untuk membatalkan pencabutan subsidi BBM. Pertama, pemerintah harus segera mencabut UU Migas yang jelas bertentangan dengan konstitusi. Kedua, dalam pengelolaan SDA, pemerintah harus kembali pada semangat ekonomi kerakyatan yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 33. Ketiga, sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak,  pemerintah harus mulai mengoptimalkan potensi gas alam.
Selain kaya akan minyak, Indonesia juga kaya potensi gas. Daripada diobral ke China dan Jepang dengan harga murah, ke depan, pemanfaatan gas harus diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri.
Sekali lagi, rakyat sudah bosan dimiskinkan. Sekali lagi, rakyat tidak mau anak-anaknya senasib dengan ‘Galang Rambu Anarki’ yang tangisan pertamanya ditandai dengan harga BBM membubung tinggi.

3 komentar:

  1. BBM pernah turun nggak sih cak?

    BalasHapus
  2. Dari sepenggal artikel terkait yang berhasil kutemukan, BBM pernah turun harga 3x (pas jaman SBY) Ken. Tepatnya pada medio 1 Desember 2008 - 15 Januari 2009. Kalo kamu ingat, itu adalah tahun-tahun politik sebelum pemilu 2009. Padahal, ribut-ribut kenaikan BBM ini terjadi sekitar Mei 2008.
    Memang turunnya lumayan bersar sih, mencapai 25% untuk premium (dari Rp.6000 menjadi Rp.4500) dan 18,2% untuk solar (dari Rp.5.500 menjadi Rp.4.500).
    Yang paling parah terkena dampak masyarakat yang di desa-desa. Karena meski BBM turun, bahan2 pokok dan tarif transportasi tetap saja naik. Pengambil kebijakan di sana lebih lamban melakukan penyesuaian daripada yang di kota-kota besar.

    BalasHapus
  3. Kalau suatu hari kau naik di tataran legislatif, aku dukung Cak! Dan tentu saja selalu siap "menjitakmu" kalau kau salah :))

    BalasHapus