Rabu, 13 Maret 2013

Saatnya Anak Muda Peduli Pangan

"Awas! Krisis harga pangan melanda dunia!" 
Itulah pesan anak-anak muda pegiat pangan lokal pada acara Youth Food Movement Camp.
Hidup Pangan Lokal!

UNCTAD (United Nation Conference on Trade And Development) dan FAO (Food and Agriculture Organization) menyebutkan, secara umum indeks harga pangan antara tahun 2003 hingga 2008 meningkat sebesar 84%. Lonjakan harga pangan tersebut pun mengancam Indonesia sebagai salah satu negara net importir pangan.

Menyikapi kondisi rawan pangan tersebut, pada 23-24 Februari 2013, anak-anak muda pegiat pangan lokal yang datang dari berbagai kota di Jawa, menggelar Youth Food Movement Camp di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Koalisi Anti Utang (KAU), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI).
“Kegiatan ini diikuti mahasiswa dan pemuda tani dari delapan kota, antara lain Batu, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bandung, Banten dan Jakarta,” ujar Tegar Putuhena, ketua panitia Youth Food Movement Camp.
Menurut Tegar, alasan kegiatan ini digelar adalah, pertama, sebagai sarana bagi anak-anak muda untuk saling berbagi praktek pertanian berkelanjutan. Kedua, menentukan strategi penguatan pangan lokal di tengah gempuran impor pangan. Ketiga, menginisiasi pembentukan Youth Food Movement, gerakan anak muda peduli pangan.
Menurut data yang dilansir oleh Koalisi Anti Utang (KAU), pada paruh pertama tahun 2011, impor pangan Indonesia mencapai 6,35 miliar dollar AS atau sekitar 57,6 triliun rupiah. Jumlah ini naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya, sebesar 5,35 miliar dollar AS.
Tegar berpendapat bahwa, jumlah anggaran yang sangat besar tersebut tentu akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk pembangunan pertanian lokal dan memberikan subsidi bagi petani, mendukung perbaikan pelayanan pendidikan dan kesehatan khususnya di wilayah pedesaan. “Dengan demikian, pertanian berkelanjutan berbasis keluarga akan semakin berkembang sehingga mampu mengurangi angka pengangguran terbuka (open unemployment) di Indoneisa. Angka dari BPS sebanyak 10,2 juta jiwa, dimana sebagian besar diantaranya adalah pemuda,” ujarnya.
Dengan kebijakan anggaran yang pro terhadap petani kecil, Tegar optimis, sektor pertanian (khususnya pangan) akan menarik minat anak muda di pedesaan. Ke depan, mereka tidak lagi menggantungkan hidup dengan pindah ke kota. Selain itu, pertanian berkelanjutan berbasis keluarga juga ramah lingkungan, karena input pertanian tidak bergantung pada pupuk kimia. Tanah yang diolah dengan cara ini juga menjadi lebih subur.
Krisis Harga Pangan
Minggu ketiga bulan Februari, langit kota Jakarata masih digelayuti awan hitam. Sore itu, hujan menerpa tenda hijau ukuran 4 x 7 meter. 30 orang peserta Youth Food Movement Camp berkumpul di dalamnya. Mereka duduk melingkar beralaskan terpal, berimpit-impitan,  tetapi semua asik berdiskusi tentang praktek spekulasi pangan yang menyebabkan terjadinya lonjakan harga pangan di tingkat nasional dan internasional.
Mohammed Ikhwan, Ketua Departemen Hubungan Internasional Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan, di tingkat internasional, praktek spekulasi pangan dilakukan oleh bank-bank besar dan korporasi pangan. Setelah terjadi krisis global pada 2007-2008, bank-bank besar yang sebelumnya bermain di sektor finansial, berbondong-bondong beralih ke sektor pangan. Sedangkan di tingkat nasional, praktek spekulasi dilakukan oleh kartel-kartel importir pangan.
“Aktor dan skala spekulasinya saja yang berbeda. Pola yang dilakukan tetap sama. Spekulan-spekulan itu leluasa mengontrol stok pangan yang berakibat pada ketidakstabilan harga pangan. Hingga saat ini, belum ada regulasi yang ketat baik di tingkat nasional maupun internasional terhadap praktek spekulasi tersebut,” ujarnya.
Prihatin dengan kondisi pangan lokal yang terdesak oleh pangan impor, Ayuni Dwi, mahasiswi Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, menyesalkan tindakan pemerintah yang telah membuka kran impor pangan lebar-lebar. “Pemerintah seharusnya melakukan proteksi terhadap produksi pangan dalam negeri. Bagaimana mungkin, petani-petani kita yang kepemilikan lahannya rata-rata hanya 0,5 hektar, harus bersaing dengan korporasi-korporasi pangan besar,”
Harga pangan impor yang lebih murah membuat petani kita kualahan. Kondisi tersebut membuat konsumen lebih memilih panga impor. Menurut Ayuni, salah satu penyebab mahalnya pangan lokal adalah rantai distribusi yang panjang. Sebelum sampai ke tangan konsumen, komoditas-komoditas pangan tersebut harus melewati tengkulak dan pengepul. Setelah itu baru di bawa ke pasar induk, untuk selanjutnya didistribusikan ke pasar-pasar yang lebih kecil. Harga jual komoditas dari tangan petani, sangat murah. Tetapi, setelah melewati tengkulak dan pengepul, hingga berada di tangan konsumen, komoditas tersebut menjadi mahal.
Selain karena spekulan, pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin tinggi dan penguasaan lahan dalam skala besar oleh perusahaan juga menjadi faktor penyebab kondisi rawan pangan.
Chaisin, pemuda tani dari Badui menyebutkan, di wilayahnya terdapat tanah ulayat (adat) seluas 5.000 hektar. 3.000 hektar diantaranya dijadikan hutan lindung. Dan 2.000 hektar sisanya digarap oleh masyarakat. “Tiap tahun, jumlah penduduk Badui bertambah banyak. Tanah garapannya semakin sempit. Sejak dahulu, Tuhan menciptakan tanah ya hanya segitu, manusianya terus beranak-pinak,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, pemuda pecinta singkong ini bercerita bagaimana cara masyarakat Badui menghargai pangan yang mereka tanam secara mandiri. Menurut kepercayaan adat sukunya, menanam padi merupakan manifestasi ketaatan manusia kepada Sang Pencipta. Setelah panen, seluruh padi harus disimpan di leuit (lumbung padi). Jika masih mampu membeli beras mereka (masyarakat Badui) harus membelinya. Persediaan padi di leuit hanya digunakan jika keadaan sudah mendesak.
“Di dalam leuit kami, masih tersimpan padi berusia seratus tahun. Itu kenang-kenangan dari nenek moyang. Bagi masyarakat Badui, tanaman hasil kebun seperti pisang, ubi, dan durian, yang harus dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padi tetap bertahan di leuit,” ucap Chaisin.
Anak Muda Sebagai Pelopor
Saat ditanya soal bagaimana peran anak muda, Farid Ramdani, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, menyebutkan, peran generasi muda adalah sebagai pendidik. Yang dididik adalah produsen dan konsumen sekaligus. Anak-anak muda harus mau mendidik petani agar mampu meningkatkan kualitas produksinya. Konsumen juga harus diedukasi agar lebih sadar akan pentingnya menjaga pangan lokal.
“Kita harus memotong rantai distribusi dan tengkulak dengan membuat koperasi atau sentra perdagangan di tiap-tiap kota. Di koperasi atau sentra perdagangan tersebut, petani dapat menjual hasil tanamannya langsung kepada konsumen, tanpa harus melewati tengkulak,” ujar Farid.
Solusi demi solusi terus diungkap. Holyman, pemuda tani dari Pengalengan, Bandung, menyatakan, ia beserta pemuda-pemuda di desanya telah berhasil memotong rantai distribusi dengan bekerja secara kolektif. Ia dan kelompoknya menanam sawi dan seledri untuk menyuplai pedagang-pedagang bakso di desanya. “Saat ini kami sudah dapat melayani permintaan pedagang-pedagang bakso di desa kami, 2 kwintal/hari,” ujar Holyman.
Ia menambahkan, pemuda desanya yang dulu mengeluh karena tidak memiliki pekerjaan, kini sudah teratasi. Masalah mereka mampu diselesaikan dengan bertani. Pemuda yang ahli dagang, dipercaya untuk mengurusi marketing. Yang ahli menanam, mereka bertanggungjawab untuk produksi. Yang suka beternak, saat ini mereka merintis beternak kambing. Saat ditanya mengenai lahan untuk bertani, Holyman mengaku, sementara ini masih menggunakan lahan milik orang tuanya. “Di samping rumah ada sebidang tanah yang nganggur, jadi kita manfaatkan,” ujarnya.
Senada dengan Holyman, Solehudin, dari Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) menyebutkan, saat banyak anak muda berbondong-bondong pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, ia malah memilih bertahan di desa dan menjadi petani. “Ketika mayoritas orang menganggap bertani itu miskin, tak berpendidikan, saya malah berpendapat lain. Bagi saya, menjadi petani bukanlah pilihan akhir,” ujarnya.
“Anak-anak muda tak perlu gengsi menjadi petani. Dengan bertani, berarti kita telah menjaga kedaulatan pangan bangsa kita,” lanjut Solehudin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar