"Awas! Krisis
harga pangan melanda dunia!"
Itulah pesan anak-anak muda pegiat pangan lokal pada acara Youth Food Movement Camp.
Hidup Pangan Lokal! |
UNCTAD (United Nation Conference on Trade And Development) dan FAO (Food and Agriculture Organization) menyebutkan, secara umum indeks harga pangan antara tahun 2003 hingga 2008 meningkat sebesar 84%. Lonjakan harga pangan tersebut pun mengancam Indonesia sebagai salah satu negara net importir pangan.
Menyikapi
kondisi rawan pangan tersebut, pada 23-24 Februari 2013, anak-anak muda pegiat
pangan lokal yang datang dari berbagai kota di Jawa, menggelar Youth Food
Movement Camp di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan. Kegiatan ini terselenggara
atas kerjasama Koalisi Anti Utang (KAU), Serikat Petani Indonesia (SPI), dan
Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI).
“Kegiatan
ini diikuti mahasiswa dan pemuda tani dari delapan kota, antara lain Batu,
Malang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bandung, Banten dan Jakarta,” ujar Tegar
Putuhena, ketua panitia Youth Food Movement Camp.
Menurut
Tegar, alasan kegiatan ini digelar adalah, pertama, sebagai sarana bagi
anak-anak muda untuk saling berbagi praktek pertanian berkelanjutan. Kedua,
menentukan strategi penguatan pangan lokal di tengah gempuran impor pangan. Ketiga,
menginisiasi pembentukan Youth Food Movement, gerakan anak muda peduli pangan.
Menurut
data yang dilansir oleh Koalisi Anti Utang (KAU), pada paruh pertama tahun
2011, impor pangan Indonesia mencapai 6,35 miliar dollar AS atau sekitar 57,6
triliun rupiah. Jumlah ini naik 18,7 persen dari periode yang sama tahun
sebelumnya, sebesar 5,35 miliar dollar AS.
Tegar
berpendapat bahwa, jumlah anggaran yang sangat besar tersebut tentu akan lebih
bermanfaat jika digunakan untuk pembangunan pertanian lokal dan memberikan
subsidi bagi petani, mendukung perbaikan pelayanan pendidikan dan kesehatan khususnya
di wilayah pedesaan. “Dengan demikian, pertanian berkelanjutan berbasis
keluarga akan semakin berkembang sehingga mampu mengurangi angka pengangguran
terbuka (open unemployment) di
Indoneisa. Angka dari BPS sebanyak 10,2 juta jiwa, dimana sebagian besar
diantaranya adalah pemuda,” ujarnya.
Dengan
kebijakan anggaran yang pro terhadap petani kecil, Tegar optimis, sektor
pertanian (khususnya pangan) akan menarik minat anak muda di pedesaan. Ke
depan, mereka tidak lagi menggantungkan hidup dengan pindah ke kota. Selain
itu, pertanian berkelanjutan berbasis keluarga juga ramah lingkungan, karena
input pertanian tidak bergantung pada pupuk kimia. Tanah yang diolah dengan
cara ini juga menjadi lebih subur.
Krisis Harga Pangan
Minggu
ketiga bulan Februari, langit kota Jakarata masih digelayuti awan hitam. Sore
itu, hujan menerpa tenda hijau ukuran 4 x 7 meter. 30 orang peserta Youth Food
Movement Camp berkumpul di dalamnya. Mereka duduk melingkar beralaskan terpal,
berimpit-impitan, tetapi semua asik berdiskusi
tentang praktek spekulasi pangan yang menyebabkan terjadinya lonjakan harga
pangan di tingkat nasional dan internasional.
Mohammed
Ikhwan, Ketua Departemen Hubungan Internasional Serikat Petani Indonesia (SPI)
menyebutkan, di tingkat internasional, praktek spekulasi pangan dilakukan oleh
bank-bank besar dan korporasi pangan. Setelah terjadi krisis global pada
2007-2008, bank-bank besar yang sebelumnya bermain di sektor finansial,
berbondong-bondong beralih ke sektor pangan. Sedangkan di tingkat nasional,
praktek spekulasi dilakukan oleh kartel-kartel importir pangan.
“Aktor
dan skala spekulasinya saja yang berbeda. Pola yang dilakukan tetap sama. Spekulan-spekulan
itu leluasa mengontrol stok pangan yang berakibat pada ketidakstabilan harga
pangan. Hingga saat ini, belum ada regulasi yang ketat baik di tingkat nasional
maupun internasional terhadap praktek spekulasi tersebut,” ujarnya.
Prihatin
dengan kondisi pangan lokal yang terdesak oleh pangan impor, Ayuni Dwi,
mahasiswi Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada, menyesalkan tindakan
pemerintah yang telah membuka kran impor pangan lebar-lebar. “Pemerintah
seharusnya melakukan proteksi terhadap produksi pangan dalam negeri. Bagaimana
mungkin, petani-petani kita yang kepemilikan lahannya rata-rata hanya 0,5
hektar, harus bersaing dengan korporasi-korporasi pangan besar,”
Harga
pangan impor yang lebih murah membuat petani kita kualahan. Kondisi tersebut
membuat konsumen lebih memilih panga impor. Menurut Ayuni, salah satu penyebab
mahalnya pangan lokal adalah rantai distribusi yang panjang. Sebelum sampai ke
tangan konsumen, komoditas-komoditas pangan tersebut harus melewati tengkulak
dan pengepul. Setelah itu baru di bawa ke pasar induk, untuk selanjutnya
didistribusikan ke pasar-pasar yang lebih kecil. Harga jual komoditas dari
tangan petani, sangat murah. Tetapi, setelah melewati tengkulak dan pengepul,
hingga berada di tangan konsumen, komoditas tersebut menjadi mahal.
Selain
karena spekulan, pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin tinggi dan penguasaan
lahan dalam skala besar oleh perusahaan juga menjadi faktor penyebab kondisi
rawan pangan.
Chaisin,
pemuda tani dari Badui menyebutkan, di wilayahnya terdapat tanah ulayat (adat)
seluas 5.000 hektar. 3.000 hektar diantaranya dijadikan hutan lindung. Dan
2.000 hektar sisanya digarap oleh masyarakat. “Tiap tahun, jumlah penduduk
Badui bertambah banyak. Tanah garapannya semakin sempit. Sejak dahulu, Tuhan
menciptakan tanah ya hanya segitu,
manusianya terus beranak-pinak,” ujarnya.
Dalam
diskusi tersebut, pemuda pecinta singkong ini bercerita bagaimana cara masyarakat
Badui menghargai pangan yang mereka tanam secara mandiri. Menurut kepercayaan
adat sukunya, menanam padi merupakan manifestasi ketaatan manusia kepada Sang
Pencipta. Setelah panen, seluruh padi harus disimpan di leuit (lumbung padi). Jika masih mampu membeli beras mereka (masyarakat
Badui) harus membelinya. Persediaan padi di leuit
hanya digunakan jika keadaan sudah mendesak.
“Di
dalam leuit kami, masih tersimpan
padi berusia seratus tahun. Itu kenang-kenangan dari nenek moyang. Bagi
masyarakat Badui, tanaman hasil kebun seperti pisang, ubi, dan durian, yang harus
dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padi tetap bertahan di leuit,” ucap Chaisin.
Anak Muda Sebagai
Pelopor
Saat
ditanya soal bagaimana peran anak muda, Farid Ramdani, mahasiswa Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya, menyebutkan, peran generasi muda adalah sebagai
pendidik. Yang dididik adalah produsen dan konsumen sekaligus. Anak-anak muda
harus mau mendidik petani agar mampu meningkatkan kualitas produksinya.
Konsumen juga harus diedukasi agar lebih sadar akan pentingnya menjaga pangan
lokal.
“Kita
harus memotong rantai distribusi dan tengkulak dengan membuat koperasi atau
sentra perdagangan di tiap-tiap kota. Di koperasi atau sentra perdagangan
tersebut, petani dapat menjual hasil tanamannya langsung kepada konsumen, tanpa
harus melewati tengkulak,” ujar Farid.
Solusi
demi solusi terus diungkap. Holyman, pemuda tani dari Pengalengan, Bandung,
menyatakan, ia beserta pemuda-pemuda di desanya telah berhasil memotong rantai
distribusi dengan bekerja secara kolektif. Ia dan kelompoknya menanam sawi dan
seledri untuk menyuplai pedagang-pedagang bakso di desanya. “Saat ini kami
sudah dapat melayani permintaan pedagang-pedagang bakso di desa kami, 2
kwintal/hari,” ujar Holyman.
Ia
menambahkan, pemuda desanya yang dulu mengeluh karena tidak memiliki pekerjaan,
kini sudah teratasi. Masalah mereka mampu diselesaikan dengan bertani. Pemuda
yang ahli dagang, dipercaya untuk mengurusi marketing. Yang ahli menanam,
mereka bertanggungjawab untuk produksi. Yang suka beternak, saat ini mereka
merintis beternak kambing. Saat ditanya mengenai lahan untuk bertani, Holyman
mengaku, sementara ini masih menggunakan lahan milik orang tuanya. “Di samping
rumah ada sebidang tanah yang nganggur, jadi kita manfaatkan,” ujarnya.
Senada
dengan Holyman, Solehudin, dari Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) menyebutkan,
saat banyak anak muda berbondong-bondong pergi ke kota untuk mencari pekerjaan,
ia malah memilih bertahan di desa dan menjadi petani. “Ketika mayoritas orang
menganggap bertani itu miskin, tak berpendidikan, saya malah berpendapat lain.
Bagi saya, menjadi petani bukanlah pilihan akhir,” ujarnya.
“Anak-anak
muda tak perlu gengsi menjadi petani. Dengan bertani, berarti kita telah
menjaga kedaulatan pangan bangsa kita,” lanjut Solehudin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar