Siang itu, 11 Oktober 2011, Kantor Kementerian
Perdagangan didatangi ribuan petani
kentang dari Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa
Tengah. Beberapa bulan terakhir
mereka terpaksa berhenti
berproduksi. Mereka rugi karena pasar diserbu kentang impor dari China dan Bangladesh. Dalam salah
satu spanduk yang mereka bawa
tertulis, “Stop Impor Kentang Sayur.“
Aksi YFM di #HariPangan |
Akibat perjanjian perdagangan bebas di kawasan Asean
dan China (ACFTA), Indonesia harus
membuka kran impor produk hortikultura, salah satunya
adalah kentang. Aksi yang
dilakukan ribuan petani Dieng merupakan bentuk protes
dan kekecewaan atas impor
kentang dari China. Harga kentang lokal anjlok 50%, pada
kisaran Rp. 3.000 hingga Rp. 4.000 per kilogram. Padahal harga sebelumnya
mencapai Rp. 7.000 per kilogram. Bandingkan dengan harga
kentang impor yang hanya Rp. 2.000 hingga Rp. 2.500 per kilogram.
Pak Sirin, petani kentang
asal Banjarnegara saat aksi di depan Kementerian Perdagangan,
mengaku terpaksa
berhenti menanam kentang karena saat panen harga jualnya sangat
rendah. Sementara
itu, harga bibit dan pupuk semakin mahal. “Kami tidak bisa tutupi biaya
produksi,”
ujarnya.
Siang itu, Pak
Sirin berharap pemerintah segera menghentikan impor pangan. Karena
menurutnya
petani-petani Indonesia masih sanggup memproduksi untuk memenuhi
kebutuhan dalam
negeri. “Kami
bertani bukan demi menghidupi anak istri saja. Kami bertani untuk meneruskan tradisi
nenek moyang kami yang telah memberi makan bangsa ini sejak ribuan tahun lalu.”
Tak lama setelah didemo
petani kentang dari Dieng awal Oktober 2011 itu, Menteri
Perdagangan Mari Elka
Pangestu diganti. Impor hortikultura mulai dibatasi. Petani-petani
kentang kembali
berproduksi. Seperti pesan yang tertulis di truk-truk pengangkut kentang di kawasan Dataran Tinggi
Dieng, “Bertani Karena Benar.” Harapan dan cita-cita mereka
sebagai penyedia pangan
sehat dan berkualitas untuk bangsa ini kembali terwujud.
"Ber(t)ani Karena Benar",
tulisan di belakang truk itu pun menjadi slogan dan penyemangat bagi sekelompok
anak-anak muda yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pertanian Indonesia
yang tergabung dalam Youth Food Movement Indonesia. Anak-anak muda ini bersatu
atas keresahan yang sama terhadap masa depan pertanian Indonesia, termasuk
semakin tuanya generasi petani di negeri tercinta.
Mengalami Penuaan
Indonesia 2013. Pertanian di Indonesia
mengalami ’aging’ (penuaan). Sensus BPS
menunjukkan telah terjadi
penurunan minat penduduk usia produktif bekerja di sektor
pertanian. Pada tahun
2004, data menyebutkan ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke
atas yang bekerja di
sektor pertanian atau 43,33 persen dari total penduduk Indonesia.
Namun pada 2013, jumlah
penduduk usia produktif yang bekerja di sektor pertanian itu
telah menyusut menjadi
39,96 juta orang atau 35,05 persen. Sedangkan lebih dari 50 persen
penduduk yang bekerja di
sektor pertanian berusia di atas 40 tahun. Bahkan persentase
terbesar menurut kelompok
umur berusia di atas 60 tahun (12,33%).
Mantan Wakil Menteri
Pertanian, Rusman Heriawan, menyebutkan petani-petani kita saat
ini sudah tak muda lagi. Usianya
sekitar 40 sampai 50 tahun. “Anak muda Indonesia ogah
menjadi petani,” ujarnya.
Profesi petani hanya dipilih sebagai solusi terakhir daripada tidak dapat kerja. “Anak petani
tidak mau jadi petani, karena dia berpikir kalau jadi petani saya harus siap miskin,"
imbuhnya.
Rendahnya minat anak muda
menjadi petani tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga
Taiwan. Saat Pertemuan
Internasional Pemuda Tani La Via Campesina-Gerakan Petani
Sedunia- ke-3 di Jakarta,
Juni 2013 lalu, Chih Li Yin, pemuda tani dari Taiwan menuturkan,
bahwa anak-anak muda di
negaranya sudah tidak ada yang mau menjadi petani. Mereka
lebih memilih bekerja di
sektor industri, atau di kantor-kantor pemerintah dan swasta.
Ada beberapa faktor kenapa anak muda malas bertani.
Tidak ada perhatian dari pemerintah untuk memajukan sektor pertanian adalah salah satunya.
Dalam APBN 2013, pemerintah hanya mengalokasikan
anggaran sektor pertanian Rp. 16,42
triliun. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan
dengan alokasi anggaran bidang keamanan
negara Rp. 81,8 triliun, dan belanja pegawai
(Birokrasi) sebesar Rp. 241,1 triliun. Melihat
porsi anggaran di atas, dapat kita simpulkan bahwa
pemerintah belum menempatkan sektor
pertanian sebagai prioritas.
Berkurangnya lahan produktif juga memicu anak muda
malas bertani. Karena tidak punya
tanah, pemuda-pemuda desa
memilih bekerja di sektor industri daripada bertani. Mereka
bermigrasi ke kota-kota
besar, bahkan ada yang nekat ke luar negeri. Gemerlap lampu kota
menarik perhatian mereka
untuk mencari remah-remah rejeki. Sesampainya di kota, mereka hanya jadi buruh-buruh
kontrak berupah rendah.
Hal ini tentu saja mengkhawatirkan. Dapat kita
bayangkan apa yang akan terjadi 32 tahun
mendatang, saat Indonesia memperingati kemerdekaannya
yang ke-100. Jika tidak ada
generasi penerus, siapa
yang akan mengelola lahan pertanian?
Indonesia 2045. Melihat tren pemerintah
dalam mengatasi persoalan pangan, mungkin pada
saat itu kita tidak dapat
menikmati sayur-sayur organik yang ditanam Pak Sirin di
Banjarnegara. Kita tidak
lagi leluasa memilih aneka macam buah-buahan lokal di pasar
tradisional. Kita akan
kehilangan rasa jeruk medan yang sedikit asam, tapi segar. Kita akan
makan tempe yang
kedelainya diimpor dari Amerika.
Akhirnya, kita hanya akan
disuguhi makanan-makanan olahan dalam kemasan yang
diproduksi
industri-industri pangan raksasa berskala nasional maupun internasional. Tak
ada
lagi cerita negeri
agraris yang berdaulat pangan.
Tanpa anak muda tak akan
ada masa depan pertanian. Selamat Hari Pangan Sedunia. Saatnya anak muda
kembali menanam. Ber(t)ani Karena Benar!
Jakarta, 16 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar