Rabu, 16 Oktober 2013

Ber(t)ani Karena Benar



Siang itu, 11 Oktober 2011, Kantor Kementerian Perdagangan didatangi ribuan petani
kentang dari Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. Beberapa bulan terakhir
mereka terpaksa berhenti berproduksi. Mereka rugi karena pasar diserbu kentang impor dari China dan Bangladesh. Dalam salah satu spanduk yang mereka bawa
tertulis, “Stop Impor Kentang Sayur.“

Aksi YFM di #HariPangan
Akibat perjanjian perdagangan bebas di kawasan Asean dan China (ACFTA), Indonesia harus
membuka kran impor produk hortikultura, salah satunya adalah kentang. Aksi yang
dilakukan ribuan petani Dieng merupakan bentuk protes dan kekecewaan atas impor
kentang dari China. Harga kentang lokal anjlok 50%, pada kisaran Rp. 3.000 hingga Rp. 4.000 per kilogram. Padahal harga sebelumnya mencapai Rp. 7.000 per kilogram. Bandingkan dengan harga kentang impor yang hanya Rp. 2.000 hingga Rp. 2.500 per kilogram.


Pak Sirin, petani kentang asal Banjarnegara saat aksi di depan Kementerian Perdagangan,
mengaku terpaksa berhenti menanam kentang karena saat panen harga jualnya sangat
rendah. Sementara itu, harga bibit dan pupuk semakin mahal. “Kami tidak bisa tutupi biaya
produksi,” ujarnya.

Siang itu, Pak Sirin berharap pemerintah segera menghentikan impor pangan. Karena
menurutnya petani-petani Indonesia masih sanggup memproduksi untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. “Kami bertani bukan demi menghidupi anak istri saja. Kami bertani untuk meneruskan tradisi nenek moyang kami yang telah memberi makan bangsa ini sejak ribuan tahun lalu.”

Tak lama setelah didemo petani kentang dari Dieng awal Oktober 2011 itu, Menteri
Perdagangan Mari Elka Pangestu diganti. Impor hortikultura mulai dibatasi. Petani-petani
kentang kembali berproduksi. Seperti pesan yang tertulis di truk-truk pengangkut kentang di kawasan Dataran Tinggi Dieng, “Bertani Karena Benar.” Harapan dan cita-cita mereka
sebagai penyedia pangan sehat dan berkualitas untuk bangsa ini kembali terwujud.

"Ber(t)ani Karena Benar", tulisan di belakang truk itu pun menjadi slogan dan penyemangat bagi sekelompok anak-anak muda yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pertanian Indonesia yang tergabung dalam Youth Food Movement Indonesia. Anak-anak muda ini bersatu atas keresahan yang sama terhadap masa depan pertanian Indonesia, termasuk semakin tuanya generasi petani di negeri tercinta.

Mengalami Penuaan
Indonesia 2013. Pertanian di Indonesia mengalami ’aging’ (penuaan). Sensus BPS
menunjukkan telah terjadi penurunan minat penduduk usia produktif bekerja di sektor
pertanian. Pada tahun 2004, data menyebutkan ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke
atas yang bekerja di sektor pertanian atau 43,33 persen dari total penduduk Indonesia.

Namun pada 2013, jumlah penduduk usia produktif yang bekerja di sektor pertanian itu
telah menyusut menjadi 39,96 juta orang atau 35,05 persen. Sedangkan lebih dari 50 persen
penduduk yang bekerja di sektor pertanian berusia di atas 40 tahun. Bahkan persentase
terbesar menurut kelompok umur berusia di atas 60 tahun (12,33%).

Mantan Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan, menyebutkan petani-petani kita saat
ini sudah tak muda lagi. Usianya sekitar 40 sampai 50 tahun. “Anak muda Indonesia ogah
menjadi petani,” ujarnya. Profesi petani hanya dipilih sebagai solusi terakhir daripada tidak dapat kerja. “Anak petani tidak mau jadi petani, karena dia berpikir kalau jadi petani saya harus siap miskin," imbuhnya.

Rendahnya minat anak muda menjadi petani tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga
Taiwan. Saat Pertemuan Internasional Pemuda Tani La Via Campesina-Gerakan Petani
Sedunia- ke-3 di Jakarta, Juni 2013 lalu, Chih Li Yin, pemuda tani dari Taiwan menuturkan,
bahwa anak-anak muda di negaranya sudah tidak ada yang mau menjadi petani. Mereka
lebih memilih bekerja di sektor industri, atau di kantor-kantor pemerintah dan swasta.

Ada beberapa faktor kenapa anak muda malas bertani. Tidak ada perhatian dari pemerintah untuk memajukan sektor pertanian adalah salah satunya.

Dalam APBN 2013, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran sektor pertanian Rp. 16,42
triliun. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi anggaran bidang keamanan
negara Rp. 81,8 triliun, dan belanja pegawai (Birokrasi) sebesar Rp. 241,1 triliun. Melihat
porsi anggaran di atas, dapat kita simpulkan bahwa pemerintah belum menempatkan sektor
pertanian sebagai prioritas.

Berkurangnya lahan produktif juga memicu anak muda malas bertani. Karena tidak punya
tanah, pemuda-pemuda desa memilih bekerja di sektor industri daripada bertani. Mereka
bermigrasi ke kota-kota besar, bahkan ada yang nekat ke luar negeri. Gemerlap lampu kota
menarik perhatian mereka untuk mencari remah-remah rejeki. Sesampainya di kota, mereka hanya jadi buruh-buruh kontrak berupah rendah.

Hal ini tentu saja mengkhawatirkan. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi 32 tahun
mendatang, saat Indonesia memperingati kemerdekaannya yang ke-100. Jika tidak ada
generasi penerus, siapa yang akan mengelola lahan pertanian?

Indonesia 2045. Melihat tren pemerintah dalam mengatasi persoalan pangan, mungkin pada
saat itu kita tidak dapat menikmati sayur-sayur organik yang ditanam Pak Sirin di
Banjarnegara. Kita tidak lagi leluasa memilih aneka macam buah-buahan lokal di pasar
tradisional. Kita akan kehilangan rasa jeruk medan yang sedikit asam, tapi segar. Kita akan
makan tempe yang kedelainya diimpor dari Amerika.

Akhirnya, kita hanya akan disuguhi makanan-makanan olahan dalam kemasan yang
diproduksi industri-industri pangan raksasa berskala nasional maupun internasional. Tak ada
lagi cerita negeri agraris yang berdaulat pangan.

Tanpa anak muda tak akan ada masa depan pertanian. Selamat Hari Pangan Sedunia. Saatnya anak muda kembali menanam. Ber(t)ani Karena Benar!

Jakarta, 16 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar