Selasa, 02 Oktober 2012

"Ngobrol"


Bumi kita tak lagi bulat!

Kalimat itulah yang tiba-tiba terlintas di otakku pada suatu pagi di Blitar, pertengahan September lalu. Memang, teknologi komunikasi telah mengubah bumi kita menjadi datar dan tanpa sekat. Persoalan jarak, ruang, dan waktu kini tak lagi dianggap sebagai masalah yang menghambat dalam kegiatan komunikasi antara manusia satu dengan lainnya. Dulu, siapa yang dapat meramalkan Perang Dunia I, II, dan Perang Dingin akan berakhir tanpa hasil, kecuali kematian dan kehancuran? Justru dari perang-perang terdahsyat yang pernah menjadi sejarah paling kelam dalam peradaban manusia itu, lahir teknologi komunikasi yang semakin hari tambah canggih.

Di abad 21 ini, siapa tak kenal komputer, HP, atau internet? Peralatan-peralatan tersebut, dulunya pertamakali dikembangkan oleh anggota militer di negara-negara Eropa dan Amerika untuk kepentingan imperialisme. Atau, siapa yang sampai hari ini belum menggunakan BB, tablet android, atau gadget lain yang didalamnya dilengkapi dengan akses langsung ke Facebook, Twitter, dan lainnya. Maka hai-hati, sampean akan dengan mudah dicap sebagai orang yang ‘ketinggalan zaman’.


Tapi, di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat itu, aku merasa ada sesuatu perlahan memudar. Sebuah kebiasaan lama dan juga telah dilakukan orang-orang pada generasi sebelum kita. Suasana percakapan yang dekat, akrab, dan intim. Ngobrol.

Ngobrol. Aku sengaja menggunakan kata yang satu ini. Mau tau kenapa?

Menurutku, ngobrol itu merupakan jenis komunikasi yang luarbiasa. Dia yang terlengkap kurasa. Ngobrol, berarti kegiatan berkomunikasi yang dilakukan sambil bertatap muka. Semua indera yang terdapat dalam anggota tubuh bekerjasama mendukung proses ini.

Karena bertatap muka, lisan akan bebas berbicara. Telinga akan dengan baik menerima suara. Mata melihat bagaimana indahnya lawan bicara menggerakkan bibir dan menunjukkan berbagaimacam ekspresi di wajah. Hidung juga akan dimanjakan dengan bebauan. Harum wewangian, jika kebetulan lawan bicara memakai. Bau bakar sate jika sedang ngobrol di pasar. Atau bau kentut yang terkadang tak sengaja keluar begitusaja tanpa permisi. Bahkan, sambil ngobrol, indra peraba dalam tubuh ini juga diberi kesempatan untuk ikut andil menunjukkan kedekatan dan keakraban dengan saling memegang tangan atau mengusap bahu si lawan bicara.

Dulu, sebelum kita kenal HP dan internet, pada warung-warung kopi di tiap kampung, bapak petani biasanya menghabiskan waktu senja setelah selesai nyangkul di sawah dengan ngobrol sambil ngopi.  Ngaso sebentar sekalian menunggu keringat di badan mengering. Yang muda juga tak mau ketinggalan. Pos ronda menjadi tempat faforit untuk bertemu. Dengan ditemani gap, atau kartu remi, dalam posisi membentuk lingkaran sambil menyeruput segelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Lalu, ngobrol.

Kebiasaan para mahasiswa di kota-kota besar tak jauh berbeda. Mereka biasa menghabiskan malam bersama teman satu kos, atau teman seorganisasi, di angkringan depan kampus sambil ngobrol. Mereka cuek-cuek saja walaupun pesan kopinya cuma satu gelas, sedangkan yang ikut nongkrong empat orang. Yang penting, bisa ngobrol.

Topik obrolannya bermacam-macam. Setiap orang bebas memilih apa yang akan menjadi bahan pembicaraannya. Mulai dari persoalan pribadi sampai merembet ke persoalan tetangga. Atau, persoalan-persoalan sepele sampai kasus besar yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak.

Ketika pulang ke Blitar beberapa minggu lalu, aku masih sempat menikmati sedikit obrolan-obrolan hangat dengan beragam topik itu. 

Kalo pak tani, topiknya gak jauh-jauh dari seputar hasil panen yang menurun akibat tanaman mereka diserang hama tikus. Kemudian soal gagal panen yang menimpa kampung di sebagian Pulau Jawa karena kemarau tahun 2012 ini begitu panjang. Atau tentang harga benih jagung dan pupuk yang semakin mahal karena dimonopoli salah satu perusahaan raksasa di Indonesia. “Benihnya mereka yang kasih, pupuknya juga harus menggunakan merk tertentu. Karena kita sudah pakai benih dan pupuk mereka, dalam perjanjian kita diharuskan jual hasil panen jagungnya ke mereka juga mas”, ujar Pak Selamet, seorang petani palawija pada suatu sore di warung kopi.

Tapi hanya cukup sampai di situ saja ngobrolnya. Karena anak-anak mudanya sudah mulai kenal teknologi dan masih belum siap menggunakannya dengan bijak. Tak kutemui lagi candaan-candaan dengan kawan sebaya yang biasanya dilakukan tiap malam di pos ronda. Waktu itu, setelah aku bertemu dengan beberapa kawan, kemudian saling menyapa, dan berbasa-basi sekedar ingin tahu kabar karena lama tak bertemu, mereka memilih mengeluarkan HP canggih dari saku celana masing-masing dan segera menghentikan obrolan. Ketak-ketik, berbalas SMS, update status….   

Begitu juga di perjalanan pulang-pergi antara Jakarta - Blitar. Untuk membunuh rasa bosan saat melakukan perjalanan, selama berada di rangkaian kereta api ekonomi ekspres Matarmaja dari Jakarta Pasar Senen menuju Blitar, biasanya aku berkenalan dengan seseorang yang kebetulan duduk di sebelah, kemudian ngobrol. Sekedar bertuka pengalaman, dan menjadi teman seperjalanan. Jika kebetulan sedang beruntung, ada seorang ibu atau bapak yang baik hati aku pasti ditawari makan dan rokok gratis. Kemudian, anaknya yang cantik juga diajak ikut nimbrung dalam obrolan.

Tapi sial, perjalanan pulangku kali ini tidak seperti biasanya. Kesempatan ngobrol dengan kawan seperjalanan baru datang ketika larut malam. Sejak kereta diberangkatkan dari Setasiun Pasar Senen pada pukul 13.00 WIB, orang-orang di sekitar tempat dudukku langsung sibuk mengeluarkan HP nya. Ada yang SMSan, facebookan, atau sekedar mendengarkan musik melalui earphone sambil mengangguk-angukkan kepala dan berkomat-kamit bibirnya seperti membaca mantra sakti.

Semua aktifitas itu mulai berhenti kira-kira pukul 22.00 WIB. Ketika manusia-manusia pada nomer yang dituju, yang tempatnya entah dibelahan bumi sebelah mana itu tak lagi menjawab panggilan telefon atau sudah enggan membalas SMS yang diterima. Atau ketika HP dan alat elektronik mereka berbunyi ‘tut tut’ sebanyak dua kali, dan kemudian semua peralatan elektronik itu akhirnya mati. Hening…

Sebagian orang memilih langsung mengambil posisi tidur. Ada sebagian lagi yang masih menyempatkan diri untuk berbasa-basi sebentar dengan teman sebangkunya. Ada juga yang memilih diam sambil menyandarkan pelipisnya pada dinding kereta dan matanya menerawang keluar jendela. Mungkin sambil menerawang nasibnya. Tapi, tak lama kemudian akhirnya mendengkur.

 ###
Ngobrol itu bercakap-cakap tanpa bantuan alat, kecuali organ yang ada pada anggota tubuh kita. Kalo kegiatan bercakap-cakap ini didukung dengan perangkat teknologi komunikasi, niscaya terminologinya juga akan berubah.

Misalnya, kamu sedang bercakap-cakap dengan seseorang menggunakan telefon. Maka, semua orang akan menyebut aktifitas itu ‘menelefon’. Atau, ada seorang mahasiswa sedang iseng di tengah perkuliahan, mengeluarkan HP lalu SMSan. Bagi yang beruntung punya uang agak lebih banyak, dia dapat beli BB untuk BBMan. Karena dilengkapi dengan piranti untuk mengakses internet, alat itu sekaligus bisa dipakai untuk facebookan dan twitteran. Semuanya dengan embel-embel akhiran ‘an’.

Coba bayangkan, jika setiap kegiatan komunikasi yang dilakukan seluruh umat manusia itu dibantu dengan menggunakan alat (HP, telefon, internet, dll). Tentu kita tidak akan tahu lagi bagaiman ekspresi lawan berbicara ketika bergembira. Indra peraba tak bisa berempati dengan memegang tangan atau sekedar mengusap bahu ketika seseorang sedang bersedih. Bahkan telinga dan hidung kita juga tak diberi kesempatan untuk menerima dahsyatnya kejutan dari suara dan bau kentut yang luarbiasa itu, hehehe…. :) 

Ngobrol yuukk.

4 komentar:

  1. betul cak, smartphone itu emang kalo gak digunakan dengan bijak, malah bisa membuat kita lupa dengan adanya "the real world" dan "the real person". trus ati2, smartphone bisa jadi awal penyebab selingkuh!!

    BalasHapus
  2. ia ken, gila kita merasa kesepian di tengah dunia yang ramai begini. ampun bener dah. itu juga yang membuatku berulang2 mikir pas mau beli smartphone yg canggih itu. (dominan mikirnya, lebih baik buat bayar kosan ato beli buku sih..hehehe).
    kalo kasus terakhir itu aku belem banyak tahu,hehe bagi infonya yak :)

    BalasHapus
  3. kalimat terakhir dari ken itu testimoni korban atau pelaku? hehee

    BalasHapus
  4. MAS kayaknya komentarku di atas itu sekarang jadi testimoni KORBAN :((
    I hate smartphone... :((

    BalasHapus