Bumi
kita tak lagi bulat!
Kalimat itulah yang tiba-tiba terlintas di otakku pada suatu pagi di Blitar, pertengahan September lalu. Memang, teknologi
komunikasi telah mengubah bumi kita menjadi datar dan tanpa sekat. Persoalan jarak,
ruang, dan waktu kini tak lagi dianggap sebagai masalah yang menghambat dalam
kegiatan komunikasi antara manusia satu dengan lainnya. Dulu, siapa yang dapat
meramalkan Perang Dunia I, II, dan Perang Dingin akan berakhir tanpa hasil,
kecuali kematian dan kehancuran? Justru dari perang-perang terdahsyat yang
pernah menjadi sejarah paling kelam dalam peradaban manusia itu, lahir teknologi
komunikasi yang semakin hari tambah canggih.
Di
abad 21 ini, siapa tak kenal komputer, HP, atau internet? Peralatan-peralatan
tersebut, dulunya pertamakali dikembangkan oleh anggota militer di negara-negara
Eropa dan Amerika untuk kepentingan imperialisme. Atau, siapa yang sampai hari
ini belum menggunakan BB, tablet android, atau gadget lain yang didalamnya dilengkapi dengan akses langsung ke Facebook, Twitter, dan lainnya. Maka
hai-hati, sampean akan dengan mudah dicap sebagai orang yang ‘ketinggalan
zaman’.
Tapi,
di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat itu,
aku merasa ada sesuatu perlahan memudar. Sebuah kebiasaan lama dan juga telah
dilakukan orang-orang pada generasi sebelum kita. Suasana percakapan yang
dekat, akrab, dan intim. Ngobrol.
Ngobrol.
Aku sengaja menggunakan kata yang satu ini. Mau tau kenapa?
Menurutku,
ngobrol itu merupakan jenis komunikasi yang luarbiasa. Dia yang terlengkap
kurasa. Ngobrol, berarti kegiatan berkomunikasi yang dilakukan sambil bertatap
muka. Semua indera yang terdapat dalam anggota tubuh bekerjasama mendukung
proses ini.
Karena
bertatap muka, lisan akan bebas berbicara. Telinga akan dengan baik menerima
suara. Mata melihat bagaimana indahnya lawan bicara menggerakkan bibir dan menunjukkan
berbagaimacam ekspresi di wajah. Hidung juga akan dimanjakan dengan bebauan.
Harum wewangian, jika kebetulan lawan bicara memakai. Bau bakar sate jika
sedang ngobrol di pasar. Atau bau kentut yang terkadang tak sengaja keluar
begitusaja tanpa permisi. Bahkan, sambil ngobrol, indra peraba dalam tubuh ini juga
diberi kesempatan untuk ikut andil menunjukkan kedekatan dan keakraban dengan saling
memegang tangan atau mengusap bahu si lawan bicara.
Dulu,
sebelum kita kenal HP dan internet, pada warung-warung kopi di tiap kampung,
bapak petani biasanya menghabiskan waktu senja setelah selesai nyangkul di
sawah dengan ngobrol sambil ngopi. Ngaso
sebentar sekalian menunggu keringat di badan mengering. Yang muda juga tak mau
ketinggalan. Pos ronda menjadi tempat faforit untuk bertemu. Dengan ditemani gap, atau kartu remi, dalam posisi
membentuk lingkaran sambil menyeruput segelas kopi hitam yang masih mengepulkan
asap. Lalu, ngobrol.
Kebiasaan
para mahasiswa di kota-kota besar tak jauh berbeda. Mereka biasa menghabiskan
malam bersama teman satu kos, atau teman seorganisasi, di angkringan depan
kampus sambil ngobrol. Mereka cuek-cuek saja walaupun pesan kopinya cuma satu
gelas, sedangkan yang ikut nongkrong empat orang. Yang penting, bisa ngobrol.
Topik
obrolannya bermacam-macam. Setiap orang bebas memilih apa yang akan menjadi
bahan pembicaraannya. Mulai dari persoalan pribadi sampai merembet ke persoalan
tetangga. Atau, persoalan-persoalan sepele sampai kasus besar yang dapat mengancam
hajat hidup orang banyak.
Ketika
pulang ke Blitar beberapa minggu lalu, aku masih sempat menikmati sedikit
obrolan-obrolan hangat dengan beragam topik itu.
Kalo
pak tani, topiknya gak jauh-jauh dari seputar hasil panen yang menurun
akibat tanaman mereka diserang hama tikus. Kemudian soal gagal panen yang
menimpa kampung di sebagian Pulau Jawa karena kemarau tahun 2012 ini begitu
panjang. Atau tentang harga benih jagung dan pupuk yang semakin mahal karena
dimonopoli salah satu perusahaan raksasa di Indonesia. “Benihnya mereka yang
kasih, pupuknya juga harus menggunakan merk tertentu. Karena kita sudah pakai
benih dan pupuk mereka, dalam perjanjian kita diharuskan jual hasil panen
jagungnya ke mereka juga mas”, ujar Pak Selamet, seorang petani palawija pada suatu
sore di warung kopi.
Tapi
hanya cukup sampai di situ saja ngobrolnya. Karena anak-anak mudanya sudah
mulai kenal teknologi dan masih belum siap menggunakannya dengan bijak. Tak
kutemui lagi candaan-candaan dengan kawan sebaya yang biasanya dilakukan tiap
malam di pos ronda. Waktu itu, setelah aku bertemu dengan beberapa kawan,
kemudian saling menyapa, dan berbasa-basi sekedar ingin tahu kabar karena lama
tak bertemu, mereka memilih mengeluarkan HP canggih dari saku celana masing-masing
dan segera menghentikan obrolan. Ketak-ketik, berbalas SMS, update status….
Begitu
juga di perjalanan pulang-pergi antara Jakarta - Blitar. Untuk membunuh rasa
bosan saat melakukan perjalanan, selama berada di rangkaian kereta api ekonomi
ekspres Matarmaja dari Jakarta Pasar Senen menuju Blitar, biasanya aku berkenalan
dengan seseorang yang kebetulan duduk di sebelah, kemudian ngobrol. Sekedar
bertuka pengalaman, dan menjadi teman seperjalanan. Jika kebetulan sedang
beruntung, ada seorang ibu atau bapak yang baik hati aku pasti ditawari makan
dan rokok gratis. Kemudian, anaknya yang cantik juga diajak ikut nimbrung dalam
obrolan.
Tapi
sial, perjalanan pulangku kali ini tidak seperti biasanya. Kesempatan ngobrol
dengan kawan seperjalanan baru datang ketika larut malam. Sejak kereta
diberangkatkan dari Setasiun Pasar Senen pada pukul 13.00 WIB, orang-orang di
sekitar tempat dudukku langsung sibuk mengeluarkan HP nya. Ada yang SMSan, facebookan, atau sekedar mendengarkan
musik melalui earphone sambil
mengangguk-angukkan kepala dan berkomat-kamit bibirnya seperti membaca mantra
sakti.
Semua
aktifitas itu mulai berhenti kira-kira pukul 22.00 WIB. Ketika manusia-manusia
pada nomer yang dituju, yang tempatnya entah dibelahan bumi sebelah mana itu
tak lagi menjawab panggilan telefon atau sudah enggan membalas SMS yang
diterima. Atau ketika HP dan alat elektronik mereka berbunyi ‘tut tut’ sebanyak
dua kali, dan kemudian semua peralatan elektronik itu akhirnya mati. Hening…
Sebagian
orang memilih langsung mengambil posisi tidur. Ada sebagian lagi yang masih
menyempatkan diri untuk berbasa-basi sebentar dengan teman sebangkunya. Ada
juga yang memilih diam sambil menyandarkan pelipisnya pada dinding kereta dan
matanya menerawang keluar jendela. Mungkin sambil menerawang nasibnya. Tapi,
tak lama kemudian akhirnya mendengkur.
###
Ngobrol
itu bercakap-cakap tanpa bantuan alat, kecuali organ yang ada pada anggota
tubuh kita. Kalo kegiatan bercakap-cakap ini didukung dengan perangkat
teknologi komunikasi, niscaya terminologinya juga akan berubah.
Misalnya,
kamu sedang bercakap-cakap dengan seseorang menggunakan telefon. Maka, semua
orang akan menyebut aktifitas itu ‘menelefon’. Atau, ada seorang mahasiswa sedang
iseng di tengah perkuliahan, mengeluarkan HP lalu SMSan. Bagi yang beruntung
punya uang agak lebih banyak, dia dapat beli BB untuk BBMan. Karena dilengkapi
dengan piranti untuk mengakses internet, alat itu sekaligus bisa dipakai untuk facebookan dan twitteran. Semuanya dengan embel-embel akhiran ‘an’.
Coba
bayangkan, jika setiap kegiatan komunikasi yang dilakukan seluruh umat manusia itu
dibantu dengan menggunakan alat (HP, telefon, internet, dll). Tentu kita tidak
akan tahu lagi bagaiman ekspresi lawan berbicara ketika bergembira. Indra
peraba tak bisa berempati dengan memegang tangan atau sekedar mengusap bahu
ketika seseorang sedang bersedih. Bahkan telinga dan hidung kita juga tak
diberi kesempatan untuk menerima dahsyatnya kejutan dari suara dan bau kentut yang
luarbiasa itu, hehehe…. :)
Ngobrol
yuukk.
betul cak, smartphone itu emang kalo gak digunakan dengan bijak, malah bisa membuat kita lupa dengan adanya "the real world" dan "the real person". trus ati2, smartphone bisa jadi awal penyebab selingkuh!!
BalasHapusia ken, gila kita merasa kesepian di tengah dunia yang ramai begini. ampun bener dah. itu juga yang membuatku berulang2 mikir pas mau beli smartphone yg canggih itu. (dominan mikirnya, lebih baik buat bayar kosan ato beli buku sih..hehehe).
BalasHapuskalo kasus terakhir itu aku belem banyak tahu,hehe bagi infonya yak :)
kalimat terakhir dari ken itu testimoni korban atau pelaku? hehee
BalasHapusMAS kayaknya komentarku di atas itu sekarang jadi testimoni KORBAN :((
BalasHapusI hate smartphone... :((